Opini
Affan Kurniawan: Nama yang Tak Boleh Hilang dalam Sunyi
Ia adalah cermin, yang memantulkan wajah kita sebagai bangsa: apakah kita masih mampu merawat keadilan?
Dan mungkin inilah makna terdalam dari takdir: bukan sekadar kepastian bahwa hidup akan berakhir, tetapi juga panggilan untuk menjaga hidup sebelum ia berakhir.
Di dalam kepergian Affan, kita ditantang untuk menata ulang arah: adakah kita masih mau berdiri untuk mereka yang lemah, ataukah kita memilih diam dalam kenyamanan? Di situlah takdir dan tanggung jawab berpadu, menjadi cermin sejati dari kemanusiaan.
Kematian Affan bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih abadi. Di jalan sunyi itu, ia telah beristirahat dari penat dunia, sementara kita yang ditinggalkan masih bergulat dengan pertanyaan: apa arti keadilan, apa makna kemanusiaan.
Affan telah kembali pada Sang Pemilik Hidup, tetapi namanya tetap bergema di hati kita sebagai peringatan, bahwa kehidupan fana ini sejatinya hanyalah persinggahan.
Dalam renungannya tentang kematian, Khalil Gibran pernah menulis: “Kematian bukanlah lawan dari kehidupan, melainkan penyempurnaan dari kehidupan itu sendiri.”
Kata-kata itu mengajarkan kita, bahwa kematian bukan musibah semata, melainkan pintu kebijaksanaan. Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa kehilangan bukanlah akhir dari kasih, melainkan awal dari keberanian untuk menjaga yang masih hidup.
Maka, kita tidak boleh membiarkan nama Affan hilang dalam diam. Ia adalah saksi zaman, sekaligus cahaya kecil yang menuntun bangsa ini menatap dirinya sendiri.
Jika kematian Affan hanya ditutup dengan sanjungan tanpa tanggung jawab, maka kita telah gagal membaca pesan takdir. Tetapi jika darinya lahir kesadaran baru, maka Affan telah menjadi guru, dan kematiannya adalah pelajaran paling indah yang diwariskan pada negeri ini.
Affan Diantar Lautan Ojol Menuju Tempat Peristirahatannya:
Langit malam itu seakan turut menundukkan kepalanya, ketika ribuan jaket hijau membanjiri jalanan. Mereka bukan sekadar pengendara motor, mereka adalah saudara sepenanggungan—lautan ojol yang datang bukan untuk bekerja, melainkan untuk mengantar satu jiwa yang telah kembali pada Tuhannya.
Affan, sahabat mereka, kini tidak lagi menyalakan mesin motornya. Ia menyalakan keabadian dalam kenangan.
Pawai sunyi itu bukan sekadar iring-iringan kendaraan. Ia adalah doa yang bergerak, harapan yang berderu, air mata yang menyatu dengan debu jalan. Setiap roda yang berputar adalah ayat yang dibisikkan: “Engkau tidak sendiri, Affan. Kami mengantarmu.” Di lautan ojol itu, kesetiakawanan berubah menjadi ibadah, dan solidaritas menjelma sebagai bahasa cinta yang tak lekang oleh waktu.
Affan mungkin berpulang dalam kesenyapan, tetapi kepulangannya justru menggerakkan kesadaran bersama: bahwa di tengah kerasnya kehidupan kota, masih ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar tarif dan aplikasi—yaitu rasa persaudaraan.
Lautan ojol itu adalah bukti, bahwa di balik kesederhanaan hidup mereka, tersimpan jiwa-jiwa besar yang tak rela sahabatnya pergi tanpa penghormatan.
Affan telah beristirahat, tetapi ia tak benar-benar pergi. Ia hidup dalam ingatan, dalam solidaritas yang menyatukan saudara-saudaranya, dalam doa-doa yang mengalir di setiap perjalanan mereka.
Sebab, seperti kata Rumi, kematian hanyalah pintu; dan di balik pintu itu, Affan kini pulang ke rumah sejati, rumah yang tak pernah mengenal letih maupun lapar.
Mengutip Denny JA, menyebutnya Civil Society Baru Bernama Ojol, kita patut menyebut komunitas ojol sebagai civil society baru.
Bukan karena mereka memiliki kantor pusat, manifesto politik, atau struktur formal yang mapan, tetapi karena mereka telah membangun kekuatan moral yang lahir dari solidaritas, dari kebersamaan, dari rasa senasib. Inilah masyarakat sipil yang tumbuh bukan di ruang elit, melainkan di jalanan—di antara debu, peluh, dan doa sederhana.
Tragedi Affan membuktikan betapa dalam makna istilah itu. Ketika satu nyawa melayang, ribuan ojol serentak menjadi saksi, pengiring, dan pelindung kenangan. Mereka tidak menunggu komando, tidak pula mencari sorotan kamera. Mereka hanya menjawab panggilan hati: bahwa seorang sahabat tidak boleh pergi sendirian.
Di situlah civil society baru bernama ojol menampakkan wajahnya—sebuah wajah kemanusiaan yang mungkin tak kita temukan di lembaga formal negara.
Affan menjadi cermin yang memperlihatkan betapa ikatan itu lebih kuat dari sekadar profesi. Dalam dirinya, komunitas ojol melihat nasib mereka sendiri: pekerja keras yang setiap hari bertaruh nyawa di jalanan, demi sesuap nasi, demi mimpi anak-anak, demi harga diri keluarga.
Kehilangannya adalah kehilangan kolektif, dan pengantaran terakhirnya adalah pernyataan moral: bahwa persaudaraan bisa lebih kokoh daripada sekat kelas dan status.
Dengan meminjam istilah itu, kita perlu mengingat Affan sebagai simbol, dan komunitas ojol sebagai narasi. Mereka adalah civil society baru bernama ojol—sebuah masyarakat sipil yang hadir tanpa formalitas, tetapi nyata dalam aksi.
Dari jalanan, mereka mengajarkan kita satu hal: bahwa bangsa ini masih punya denyut solidaritas, masih punya cadangan moral, masih punya harapan.
Dalam derasnya arus modernitas, kita menyaksikan lahirnya kekuatan sosial baru yang tumbuh bukan dari gedung parlemen atau forum akademik, melainkan dari jalanan kota. Komunitas ojol—yang setiap hari menembus hujan, panas, dan macet—diam-diam menjelma sebagai masyarakat sipil baru.
Solidaritas mereka bukan sekadar kerja sama ekonomi, melainkan wujud nyata dari ikatan kemanusiaan.
Maka, “civil society baru bernama ojol” bukan sekadar metafora, tetapi kenyataan. Mereka telah membuktikan bahwa solidaritas dapat lahir di luar struktur formal, bahwa kekuatan moral bisa muncul dari motor-motor sederhana yang mengantar sahabat mereka menuju peristirahatan terakhir.
Affan telah pergi, tetapi dari kepulangannya lahir kesadaran: bahwa komunitas ojol bukan hanya pekerja jalanan, melainkan wajah baru masyarakat sipil Indonesia.
Kedatangan Para Tokoh
Ada momen di mana duka menjadi bahasa universal yang meniadakan jarak antara rakyat kecil dan para tokoh besar.
Ketika Affan, sang ojol yang sederhana itu, berpulang, kehadiran para tokoh publik—di antaranya Gubernur DKI dan Anies Baswedan—menjadi isyarat bahwa tragedi ini bukan sekadar kehilangan pribadi, melainkan luka bersama sebuah kota, bahkan bangsa.
Mereka datang bukan semata membawa nama dan jabatan, tetapi membawa simbol pengakuan: bahwa nyawa seorang pengemudi ojek daring sama mulianya dengan siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan.
Di hadapan Affan yang telah terbaring, pangkat dan jabatan luluh dalam keheningan; yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa manusia pada akhirnya sama—datang dari tanah, dan kembali ke tanah.
Gubernur DKI, dengan tatapan yang berat, seakan berkata tanpa kata: bahwa seorang warganya telah pergi dengan cara yang tak semestinya.
Kehadirannya adalah bentuk penghormatan, sekaligus tanggung jawab moral atas peristiwa yang merobek nurani kota. Sementara Anies Baswedan, dengan sikap yang reflektif, membawa nuansa filosofis dalam duka itu.
Seolah ia ingin mengingatkan: sebuah bangsa dinilai bukan dari bagaimana ia memperlakukan yang kuat, melainkan dari bagaimana ia menghormati yang paling lemah.
Kedatangan para tokoh itu menjadi pelajaran bagi kita semua: bahwa tragedi Affan telah menggerakkan hati, menundukkan ego, dan menyatukan berbagai lapisan.
Bahwa dari jalanan menuju keabadian, Affan tidak pergi sendirian—ia diantar tidak hanya oleh lautan ojol, tetapi juga oleh para tokoh yang memahami arti kehilangan ini.
Permohonan Maaf Pak Kapolri
Di tengah gelombang duka yang menyelimuti, suara Kapolri Jenderal Listyo Sigit menjadi penting. Ia datang dengan sebuah permohonan maaf—sebuah sikap yang jarang lahir dari kursi kekuasaan, namun justru dibutuhkan dalam ruang kemanusiaan.
Permohonan maaf itu bukan sekadar pernyataan formal, melainkan pengakuan moral bahwa ada nyawa yang hilang, ada luka yang harus diakui, ada tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.
Dalam tragedi Affan, permohonan maaf Kapolri menjadi jembatan antara negara dan rakyatnya. Ia seperti ingin berkata: “Kami salah, kami lalai, kami turut berduka.” Kalimat itu, meski sederhana, menyentuh ruang terdalam nurani.
Sebab, dalam keheningan kematian, yang paling bermakna bukanlah dalih dan pembenaran, melainkan keberanian untuk menundukkan ego, mengakui kesalahan, dan berjanji memperbaikinya.
Ketika Kapolri menundukkan kepala, kita seakan melihat satu hal yang lebih besar dari institusi: sebuah kesediaan untuk merawat kepercayaan publik.
Dan mungkin, dalam kepulangan Affan, inilah warisan yang ia tinggalkan bagi bangsa—bahwa kematian seorang rakyat kecil bisa menggugah institusi besar untuk kembali mengingat tugas aslinya: melindungi dan mengayomi.
Tangisan Ibunda Affan di Depan Anies Baswedan
Tangisan seorang ibu adalah doa yang retak, sekaligus jerit sunyi yang menembus dinding kekuasaan. Di depan Anies Baswedan, Ibunda Affan Kurniawan menangis—bukan sekadar karena kehilangan anak, tetapi karena dunia terasa runtuh tanpa sosok yang setiap hari berpulang dengan senyum sederhana.
Tangisan itu bukan hanya miliknya, tetapi milik seluruh ibu yang anaknya berjuang di jalanan, di antara deru mesin dan bahaya lalu lintas yang tak pernah kompromi.
Anies, dengan wajah tertunduk, mendengarkan tanpa kata. Sebab dalam tangisan itu terkandung lebih banyak makna daripada seribu pidato. Ia mendengar bukan hanya suara duka seorang ibu, tetapi juga suara rakyat yang menagih keadilan, suara bangsa yang merindukan kemanusiaan.
Tangisan itu adalah kebenaran paling murni: bahwa seorang manusia bernama Affan pernah ada, pernah berjuang, dan kini pergi meninggalkan luka yang tak terobati.
Tangisan Ibunda Affan mengingatkan kita pada kerapuhan hidup. Bahwa sehebat apa pun teknologi, sekuat apa pun negara, semuanya bisa runtuh di hadapan luka seorang ibu. Karena ibu adalah inti dari kemanusiaan—dan ketika ia menangis, sejatinya bangsa ikut menangis.
Maka, peristiwa itu bukan hanya pertemuan antara seorang ibu dan seorang tokoh, tetapi juga perjumpaan antara kemanusiaan dan tanggung jawab. Air mata ibunda Affan adalah pesan: jangan biarkan tragedi ini hanya menjadi berita sesaat.
Jadikanlah ia pelajaran, jadikanlah ia cahaya yang menuntun langkah bangsa menuju rasa adil, menuju penghormatan terhadap setiap nyawa, sekecil apa pun perannya.
Doa Anies Baswedan di Pemakaman Affan
Di pemakaman yang sunyi, ketika tanah merah masih basah dan aroma bunga belum pudar, Anies Baswedan berdiri di antara lautan doa. Ia tidak datang membawa pidato panjang, tidak juga membawa simbol kuasa. Ia datang membawa hening, dan dari hening itulah lahir doa.
Doa yang lirih, tetapi dalam; doa yang sederhana, tetapi sarat makna.
Dalam doa itu, terselip filosofi tentang keadilan: bahwa setiap nyawa adalah suci, bahwa setiap rakyat adalah amanah, dan bahwa seorang pemimpin sejati tidak pernah berhenti berdoa untuk rakyatnya—baik yang hidup maupun yang telah pergi.
Seakan Anies ingin menegaskan, kematian Affan bukanlah akhir, melainkan awal bagi kita semua untuk menata kembali makna kemanusiaan dalam bernegara.
Dan di pemakaman itu, doa Anies menyatu dengan doa sang ibu, sahabat-sahabat ojol, dan warga yang mengantar Affan.
Doa-doa itu membumbung ke langit, membawa pesan sunyi: bahwa Affan tidak mati sia-sia, karena dari kepergiannya lahir kesadaran baru—bahwa bangsa ini hanya akan menjadi besar jika ia mampu menunduk di hadapan duka rakyat kecil.
Pernyataan Presiden Prabowo: Duka dan Cermin Bangsa
Dalam sejarah bangsa, selalu ada momen di mana suara seorang Presiden ditunggu bukan karena kekuatannya, melainkan karena kelembutan hatinya.
Ketika kabar meninggalnya Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek daring yang dilindas barracuda Brimob—sampai ke telinga Presiden Prabowo, seketika duka itu berubah menjadi gema nasional.
Presiden tak hanya berbicara sebagai kepala negara, tetapi sebagai seorang ayah yang kehilangan anak, sebagai seorang manusia yang terenyuh menyaksikan tragedi rakyat kecil.
Pernyataannya sederhana, tetapi sarat makna: bahwa bangsa ini berduka, bahwa negara harus bertanggung jawab, bahwa setiap nyawa rakyat adalah nyawa yang berharga.
Di balik kata-kata itu, tersimpan kesadaran filosofis: betapa rapuhnya kekuasaan jika tak berpijak pada kemanusiaan, betapa hampa gelar Presiden jika ia abai pada derita warganya.
Tragedi Affan telah membuka ruang refleksi bagi bangsa ini. Presiden, dengan pernyataannya, seakan mengingatkan bahwa negara bukanlah menara gading yang jauh dari rakyat. Negara adalah rumah, dan Presiden adalah penjaganya.
Jika seorang anak rumah itu jatuh, maka seluruh penghuni rumah ikut kehilangan. Jika seorang Affan berpulang, maka seluruh bangsa seharusnya merasa kehilangan.
Pernyataan itu pun menegaskan bahwa kematian Affan tidak boleh hilang dalam sunyi. Ia adalah pelajaran, ia adalah cermin.
Cermin yang menunjukkan pada kita bahwa pembangunan tak hanya soal infrastruktur megah, melainkan juga perlindungan bagi pekerja jalanan. Bahwa kemajuan bangsa bukan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, melainkan dari sejauh mana negara menghormati setiap tetes keringat rakyatnya.
Di hadapan duka itu, Presiden Prabowo menempatkan diri sebagai kesatria rakyat: mengakui luka, berjanji menjaga, dan mengajak seluruh bangsa untuk tidak melupakan Affan.
Dalam pernyataan itu, ada pesan sunyi yang puitis: bahwa seorang rakyat kecil bisa menggugah hati seorang Presiden, bahwa kematian bisa menjadi cahaya yang menuntun bangsa pada keadilan, dan bahwa Affan, meski telah tiada, hidup dalam suara nurani bangsa.
Presiden Prabowo Melayat ke rumah duka Affan:
Di hadapan kedua orang tua Affan, Prabowo tidak lagi sekadar seorang panglima atau kepala negara.
Ia hanyalah manusia yang menatap rapuhnya hidup, merasakan getirnya kehilangan, dan mendengar bisikan bathin: bahwa seorang pemimpin sejati harus sanggup menangis bersama rakyatnya.
Dalam sorot matanya yang basah, ia seakan berkata: “Negara ini berdiri bukan untuk membiarkan rakyat mati tanpa makna, tetapi untuk memastikan setiap nyawa bernilai di mata bangsa.”
Ketika tangannya menyentuh pundak ibunda Affan, seakan ada percakapan diam antara keduanya. Sang ibu dengan mata bengkak menatap presiden dengan tatapan penuh luka, sementara Prabowo menunduk dalam hormat, menyadari bahwa tidak ada jabatan setinggi apa pun yang bisa menghapus derita seorang ibu yang kehilangan anak.
Namun, setidaknya ia bisa hadir, untuk memberi pesan: negara tidak menutup mata.
Di luar rumah, para driver ojol berjejer rapi, menundukkan kepala mereka, menyambut presiden dengan hening yang lebih lantang daripada orasi. Bagi mereka, Affan adalah saudara, sahabat seperjalanan, dan kini simbol perjuangan.
Kehadiran Prabowo di tengah-tengah mereka adalah pengakuan bahwa Affan bukan sekadar nama di berita, melainkan bagian dari denyut bangsa.
Melayat bukan sekadar hadir di rumah duka, tetapi merenda simpul moral antara pemimpin dan rakyatnya.
Prabowo mungkin datang dengan jas dan protokoler, tetapi ia pulang membawa beban lebih berat dari sekadar duka keluarga Affan: ia pulang dengan amanat, bahwa keadilan adalah tugas yang tidak boleh ditunda, dan bahwa kemanusiaan selalu lebih luhur daripada kekuasaan.
Kehadiran seorang presiden di rumah duka rakyat kecil bukanlah sekadar ritual politik; ia adalah ujian kemanusiaan.
Sebab, di ruang sempit yang berisi duka itu, jabatan tertinggi di negeri ini diuji oleh yang paling sederhana: air mata seorang ibu. Tidak ada naskah pidato, tidak ada panggung megah, hanya ruang sunyi yang menelanjangi pemimpin dari segala simbol kekuasaan.
Prabowo hadir sebagai saksi, bahwa negara bukanlah entitas abstrak yang jauh, melainkan kehadiran yang mampu menyentuh luka rakyatnya.
Sebab, apa gunanya kuasa bila ia tak mampu membalut luka, apa gunanya pasukan bila ia tak mampu melindungi, dan apa gunanya kemerdekaan bila rakyat kecil masih harus meregang nyawa dalam tragedi yang sia-sia?
Dalam tangisan ibunda Affan dan doa ribuan ojol yang hadir, terselip pertanyaan filosofis yang lebih dalam: mampukah pemimpin menjadikan duka ini sebagai cermin, agar kekuasaan tidak lagi menjauh dari nurani?
Sebab, bangsa ini tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan jiwa—pembangunan yang lahir dari keberanian seorang pemimpin untuk menangis bersama rakyatnya.
Maka, melayat bukanlah akhir dari perjalanan ini, melainkan awal dari komitmen moral yang lebih besar.
Affan mungkin telah pergi, tetapi namanya menjadi pengingat bahwa setiap nyawa adalah kitab suci kemanusiaan yang tidak boleh dilupakan.
Dan seorang presiden yang hadir di hadapan kitab itu, sejatinya sedang menandatangani janji tak tertulis: bahwa negara harus hadir, adil, dan manusiawi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.