Opini
Affan Kurniawan: Nama yang Tak Boleh Hilang dalam Sunyi
Ia adalah cermin, yang memantulkan wajah kita sebagai bangsa: apakah kita masih mampu merawat keadilan?
Cermin yang dipantulkan oleh Affan adalah cermin yang menyakitkan. Ia menunjukkan retakan dalam nurani kolektif kita.
Kita terbiasa mengagumi gedung tinggi, tetapi melupakan peluh tukang bangunan. Kita terkesima pada mobil mewah, tetapi menutup mata pada pengendara motor yang jatuh di jalanan.
Tragedi Affan adalah pengingat, bahwa dalam riuh sanjungan dan kekaguman, sering kali manusia paling sederhana yang harus menanggung harga paling mahal.
Namun, cermin tidak pernah berdusta. Ia hanya mengembalikan wajah kita apa adanya.
Melalui Affan, bangsa ini dipaksa menatap dirinya sendiri: apakah kita bangsa yang adil, atau sekadar bangsa yang pandai menyembunyikan luka dengan kata-kata indah?
Pertanyaan ini mungkin menyakitkan, tetapi tanpa menjawabnya, kita akan terus berjalan di jalan yang sama: jalan yang menyingkirkan yang kecil demi menjaga nama yang besar.
Dan pada akhirnya, Affan mengajarkan bahwa kemanusiaan adalah inti dari segala peradaban.
Jika sebuah bangsa kehilangan keberanian untuk merawat kemanusiaan, maka sekuat apapun ia berdiri, sejatinya ia telah runtuh dari dalam. Nama Affan kini telah abadi dalam keheningan, tetapi keheningan itu bukan akhir.
Ia adalah panggilan — agar kita tak lagi menutup mata pada mereka yang kecil, lemah, dan rapuh. Sebab tanpa mereka, tidak ada arti dari kata “bangsa”.
Affan adalah potret tentang bagaimana kemanusiaan sering kali terpinggirkan oleh hiruk-pikuk kepentingan. Ia bukan pejabat, bukan tokoh besar, bukan pula simbol kuasa.
Tetapi justru karena kesederhanaannya, ia menjadi kaca bening yang memantulkan wajah asli bangsa ini. Dari dirinya, kita bertanya: masihkah kita punya keberanian untuk mengasihi tanpa syarat, ataukah kita hanya menaruh perhatian ketika nama itu besar dan berpengaruh?
Kehidupan Affan adalah kitab sunyi yang jarang dibaca. Di dalamnya ada ayat tentang kesabaran, ada doa tentang rezeki, ada harapan sederhana tentang pulang dengan selamat.
Namun ketika kitab itu ditutup dengan tragis, barulah kita sadar betapa berharga setiap lembar kehidupannya. Ironinya, bangsa ini sering kali lebih pandai berkabung di ruang publik ketimbang benar-benar belajar dari makna yang ditinggalkan.
Maka, cermin yang ditinggalkan Affan bukan sekadar bayangan. Ia adalah cahaya yang menguji nurani kita: apakah kita masih bisa menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, ataukah kita membiarkan ia larut dalam gelombang sanjungan yang semu.
Sebab pada akhirnya, sejarah tidak mengingat siapa yang paling dipuji, melainkan siapa yang berani berdiri bagi yang tak mampu bersuara.
Takdir dan Tanggung Jawab
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.