Opini
Affan Kurniawan: Nama yang Tak Boleh Hilang dalam Sunyi
Ia adalah cermin, yang memantulkan wajah kita sebagai bangsa: apakah kita masih mampu merawat keadilan?
Sebagai insan beriman, kita percaya: setiap kematian adalah takdir. Tidak ada satu jiwa pun yang pergi tanpa izin Allah. Affan telah kembali pada-Nya, dan kita menerima itu dengan pasrah. Tetapi iman tidak berhenti pada kepasrahan. Ia juga menuntut tanggung jawab.
Takdir adalah rahasia yang hanya Allah ketahui. Ia datang tanpa aba-aba, tanpa janji, tanpa bisa dinegosiasikan. Setiap jiwa pasti kembali pada-Nya, dan setiap peristiwa memiliki waktunya sendiri. Kematian Affan adalah bagian dari takdir itu—sebuah ketentuan yang tak seorang pun bisa menolak.
Namun, menerima takdir bukan berarti menutup mata dari tanggung jawab. Justru dalam ruang antara takdir dan ikhtiar, manusia diuji: apakah ia mampu menjaga amanah kemanusiaan.
Kita sering bersembunyi di balik kata “takdir” untuk menghapus rasa bersalah, untuk menutupi kelalaian, atau untuk menghindari pertanggungjawaban.
Padahal, iman kepada takdir tidak pernah menghapus kewajiban menegakkan keadilan. Affan memang ditakdirkan pergi pada malam itu, tetapi pertanyaan yang lebih dalam adalah: adakah tangan manusia yang ikut melukai perjalanan takdir itu? Jika iya, maka di situlah letak tanggung jawab yang tak boleh diabaikan.
Takdir memberi ketenangan, tetapi tanggung jawab memberi arah. Tanpa tanggung jawab, takdir hanya menjadi alasan untuk pasrah.
Namun dengan tanggung jawab, takdir justru menjadi jalan menuju kebijaksanaan.
Tragedi Affan adalah peringatan bahwa kita tidak boleh berhenti pada kalimat “sudah takdir,” melainkan melangkah lebih jauh: bagaimana agar takdir serupa tidak menimpa jiwa lain yang sama rapuhnya.
Ada jurang tipis antara kepasrahan dan kelalaian. Kepasrahan adalah sikap hati yang tunduk pada Allah, sedangkan kelalaian adalah alasan untuk tidak peduli. Maka, bangsa ini harus berhati-hati agar tidak menjadikan kata “takdir” sebagai tameng untuk menutupi kelemahan dalam menjaga rakyatnya.
Sebab Allah menitipkan amanah kepada manusia bukan untuk dicari pembenaran, tetapi untuk ditegakkan sebagai tanggung jawab moral dan sosial.
Dan di sinilah kita diuji: apakah kita hanya menerima kematian Affan sebagai takdir yang senyap, ataukah kita menjadikannya cahaya untuk menyalakan tanggung jawab?
Takdir memang tidak bisa diubah, tetapi dari tragedi ini, lahirlah ruang untuk memperbaiki sikap, memperhalus hati, dan mempertegas keberpihakan pada mereka yang paling lemah.
Di situlah letak kebesaran manusia: bukan pada kekuasaannya, melainkan pada keberaniannya menjawab panggilan tanggung jawab di balik misteri takdir.
Sebab sejatinya, tanggung jawab bukanlah beban, melainkan cahaya. Ia menuntun kita agar tidak terjebak dalam pasrah yang membutakan, atau dalam kepasrahan yang meniadakan ikhtiar.
Dengan menanggung tanggung jawab, kita menjaga agar takdir tidak hanya dikenang sebagai musibah, tetapi juga sebagai pelajaran yang menghidupkan nurani. Tragedi Affan menjadi peringatan, bahwa setiap nyawa adalah kitab suci kecil yang harus dijaga dan dihormati.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.