Ngopi Akademik
Orang Bijak Taat Pajak
Demikian pula di Kabupaten Bone (Sulawesi Selaran), aksi protes juga terjadi hingga sempat ricuh di depan kantor bupati.
Selanjutnya ditindaklanjuti dalam PP Nomor 35 tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak daerah dan Restribusi Daerah.
Di dalam PP ini mengamanahkan agar daerah melakukan Perubahan Perda seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota paling lambat 4 Januari 2024, akibatnya seluruh daerah melakukan revisi Perda tentang Pajak dan Restribusi daerah termasuk perubahan dan penyesuaian PBB dengan beberapa ketentuan yang telah diatur dalam UU dan PP diatas yaitu:
Pertama; Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan oleh kepala daerah dengan perhitungan paling rendah 20?n paling tinggi 100 % setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Kedua; Tarif PBB P2 ditetapkan dalam Perda Paling Tinggi 0,5 ?n ketiga; NJOPTKP paling sedikit 10 juta.
Kebijakan inilah yang mendorong hampir seluruh Provisi, Kabupaten dan Kota menetapkan Perda diakhir tahun 2023 sebagai dasar melakukan pungutan Pajak dan restribusi daerah di tahun 2024.
Melihat tahapan tersebut maka diperkirakan penetapan NJOP dilakukan sekitar tahun 2024 di mana beberapa kepala daerah dipimpin oleh Penjabat Kepala Daerah, olehnya Kepala Daerah terpilih hasil Pilkada setelah definitif masih dimungkinkan melakukan perubahan (revisi) NJOP yang telah ditetapkan sebelumnya dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat saat ini.
Dari perspektif Sosiologi, masalah ini sebenarnya terkait dengan kepercayaan (trust). Pajak bukan cuma soal angka, tapi soal hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Ketika pemerintah menaikkan pajak tanpa langkah-langkah persuasif melalui dialog atau penjelasan yang transparan, masyarakat merasa tidak dilibatkan pasti apriori dan menolak.
Hubungan sosial yang mestinya dibangun atas dasar kepercayaan justru berubah jadi curiga.
Dalam bahasa Sosiologi, ini adalah gejala retaknya kontrak sosial dimana warga merasa kewajiban terus ditagih, tapi hak-hak mereka sebagai pembayar pajak tidak benar-benar terlihat hasilnya bahkan dipertontonkan dengan sesuatu yang paradoks dengan menaikkan gaji anggota DPR di tengah kesulitan yang menghimpit rakyat tidak mampu berbuat apa-apa untuk bertahan hidup.
Dari kasus ini, jelas ada pelajaran yang bisa dipetik. Setidaknya pemerintah harus sadari bahwa komunikasi berperan penting dalam proses sosialisasi kebijakan yang jelas, data yang transparan, dan alasan yang masuk akal bisa membuat masyarakat lebih bisa menerima kebijakan sulit sekalipun.
Kedua, kenaikan pajak sebaiknya dilakukan bertahap bukan melonjak drastis, supaya warga tidak merasa terkejut dan terbebani.
Ketiga, pemerintah perlu membuktikan bahwa pajak yang dikumpulkan benar-benar kembali dalam bentuk nyata seperti layanan kesehatan yang lebih baik, sekolah yang lebih layak, jalan yang mulus demikian pula infrastruktur yang mendukung pelayanan kesejahteraan masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat tidak anti bayar pajak. Meskipun terpaksa tetap saja berusaha sesuai slogan "Orang Bijak Taat Pajak" dengan berbagai jenis pajak yang jadi beban hidup bagi golongan masyarakat tertentu untuk bayar Pajak Mobil, Rumah, Makan Minum, Rokok, Penghasilan, Buruh, Tanah, Hidup dan Pajak Nikah.
Kesadaran masyarakat membayar pajak menjadi indikasi mereka paham bahwa pajak adalah sumber pembangunan tetapi mereka ingin melihat hubungan yang adil dimana ketika mereka membayar lebih, maka layanan publik juga harus optimal. Inilah kontrak sosial yang ideal dimana ada timbal balik antara hak dan kewajiban.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.