Ngopi Akademik
Utak Atik Pemilu, Siapa Untung?
Putusan ini dilandasi oleh kekhawatiran MK terhadap beban teknis, administratif dan psikologis yang muncul dari pemilu serentak.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - MENCARI siapa yang untung bukan berarti pihak lain merugi, setidaknya belum untung sambil menunggu waktu yang tepat sebagai kesempatan untuk tidak merugi, begitulah dinamika politik di tengah masyarakat memanfaatkan pesta demokrasi melalui pemilihan umum.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Kepala Daerah menjadi babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Jika selama ini pemilu dijalankan secara serentak dalam satu waktu sering disebut sebagai “Pemilu Lima Kotak” maka mulai 2029 nanti, pemilihan presiden dan anggota legislatif tingkat nasional akan dilaksanakan terlebih dahulu, lalu diikuti oleh pemilihan kepala daerah dan DPRD sekitar 2 sampai 2,5 tahun setelahnya.
Putusan ini dilandasi oleh kekhawatiran MK terhadap beban teknis, administratif dan psikologis yang muncul dari pemilu serentak.
Banyaknya surat suara dan waktu yang terbatas sering kali menyebabkan penyelenggara kewalahan, pemilih jenuh, serta partai politik kesulitan mengelola logistik dan kaderisasi secara menyeluruh.
Dengan pemisahan jadwal, diharapkan setiap tingkatan pemilu dapat dilaksanakan lebih fokus, akuntabel dan partisipatif.
Namun di sisi lain, keputusan ini menuai respons kritis dari berbagai kalangan.
DPR melalui Komisi II menyatakan bahwa MK telah bertindak melebihi kewenangannya karena pada dasarnya desain pemilu adalah domain legislasi bukan yudisial.
Tak sedikit yang menilai MK tengah “memproduksi norma baru”, alih-alih menafsirkan konstitusi seperti fungsi utamanya.
Dari perspektif anggaran dan teknis, pemisahan ini memang berisiko menambah beban negara.
Penyelenggaraan dua kali pemilu dalam rentang dua tahun berarti dua kali logistik, dua kali proses pengawasan dan kemungkinan dua kali potensi konflik sosial.
Ini belum termasuk problem transisi di daerah, mengingat masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024 akan berakhir sebelum pilkada baru dilangsungkan.
Konsekuensinya, pemerintah pusat harus menunjuk banyak Penjabat (Pj) kepala daerah dalam waktu lama yang berpotensi mengganggu stabilitas dan otonomi daerah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.