Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ngopi Akademik

Kepastian yang Tak Pasti

Meski putusan ini menegaskan bahwa pelanggaran prosedural telah merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Rahmat Muhammad Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas 

Oleh: Rahmat Muhammad

Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - PUTUSAN Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong pada 19 Juli 2025 memunculkan diskursus yang kompleks di ruang publik.

Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo itu divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 750 juta dalam perkara korupsi impor gula mentah tahun 2015–2016.

Meski putusan ini menegaskan bahwa pelanggaran prosedural telah merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah, pembacaan atas kasus ini tak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan dan tafsir hukum atas kebijakan publik.

Palu sudah diketuk berarti kepastian hukum dari keraguanpun terjawab.

Namun masyarakat melihat sisi lain sehingga memicu ketidakpastian (polemik) yang makin meragukan dari Hakim yang menyatakan bahwa Lembong tidak memiliki niat jahat (mens rea) dan tidak menikmati keuntungan pribadi terhadap keputusan impor tersebut.

Namun, tindakan administratifnya yang memperbolehkan impor gula oleh perusahaan swasta tanpa prosedur rapat koordinasi dan pengesahan resmi dari Kementerian Koordinator dinilai melampaui batas kewenangan dan melanggar aturan yang berlaku.

Di sinilah letak persoalannya, sejauh mana pelanggaran administratif dalam konteks kebijakan bisa dikriminalisasi?

Dalam pernyataannya usai vonis, Lembong menyampaikan keberatan terhadap narasi kriminalisasi kebijakan.

Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil dalam situasi darurat stok dan dilakukan atas dasar urgensi stabilisasi harga.

Pembelaannya menyoroti bagaimana keputusan yang diambil secara cepat dalam eksekusi kebijakan publik rentan ditarik ke ranah pidana, terutama bila kemudian ia berdiri di luar lingkar kekuasaan.

Jika kita lihat lebih luas, kasus ini mencerminkan problem struktural dalam hubu­ngan antara birokrasi, hukum dan kekuasaan.

Dalam sistem pemerintahan yang kuat secara sentralistik, pejabat publik sering berada di posisi dilematis yaitu satu sisi dituntut meng­ambil keputusan cepat dan efektif.

Namun di sisi lain dibayang-bayangi risiko pidana ketika prosedur formal tidak terpenuhi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Angngapami?

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved