Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

LAPAR: Bawaslu Lupa Induknya, Anak Durhaka

Muh Iqbal Latif, menilai peran Bawaslu dalam menjaga demokrasi yang sehat, belum terlihat jelas.

Penulis: Muslimin Emba | Editor: Ansar
Tribun-Timur.com
DISKUSI BAWASLU - Suasana diskusi penguatan Kelembagaan di kantor Bawaslu Kota Makassar, Jl Letjen Hertasning, Kecamatan Rappocini, Senin (3/11/2025). Mengusung tema "Optimalisasi peran Stakeholder Pengawasan Partisipatif menuju Penguatan Struktur Kelembagaan Penyelenggara Pengawas Pemilu". (Dok. Tribun-Timur.com/Muslimin Emba) 

Abdul Karim dalam paparannya mengatakan, untuk menghadirkan penguatan pengawasan kelembagaan, perlu adanya inovasi pengawasan partisipatif.

Pengawasan partisipatif kata Karim, hampir 15 tahun menjadi "mazhab" Bawaslu dalam mendorong publik mengawasi pemilu atau pilkada.

"Pertanyaannya; “bagaimana mazhab ini diamalkan?” Apakah mazhab ini punya jamaah, pengikut? Kalau ada, siapa2 mereka? Apakah mereka bekerja sesuai maksud mazhab? Kalau tidak, mengapa?," ucapnya membuka paparan.

"Kalau mazhab itu tak sukses diamalkan; kenapa? apa persoalannya? Apa kendalanya? Pernahkah dievaluasi? Apa hasilnya?," lanjutnya.

Menurutnya, ada beberapa pentebab 'Mazhab' pengawasan Bawaslu tidak berjalan efektif.

Pertama, Bawaslu lupa induknya

Bawaslu kata Karim, ibaratnya anak durhaka. Ia nyaris tak paham bahwa induknya adalah 'politik'. Bukan hukum. Adapun hukum, ia adalah instrumen implementatif untuk menjadi anak yang baik. 

Karena hukum seolah induk, maka Bawaslu bekerja dengan pasal-pasal. Bukan dengan problem etik demokrasi.

Padahal, ketika etik demokrasi terinjak-injak, hukum pun terlanggar.

"Inilah salah satu faktor pemicu gagalnya pengawasan partisipatif. Publik diajak mengawas dengan disodorkan pasal-pasal dan prosedur birokratis," terangnya.

Di dunia ini lanjut Karim, pasal-pasal tak pernah sukses menggerakkan orang untuk memperbaiki keadaan. Yang menggerakkan orang kata dia, adalah politik.

Artinya, bagaimana mungkin publik mau terlibat dalam pengawasan partisipatif bila yg disodorkan adalah pasal-pasal. 

"Ini pula yang membuat mengapa bawaslu gagap menjawab protes publik terhadap kinerjanya. Sebab peristiwa politik (seperti kecurangan, dll) selalunya dibaca dengan logika pasal," ujarnya.

Lebih lanjut dijelaskan, pada misi pencegahan, harusnya didekati dengan “persuasi-dialogis-psykologis” yang intens, bukan dengan daftar pasal.

Sebab kata Karim, nalar hukum tak cukup digunakan mencegah. 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved