TRIBUN-TIMUR.COM - Wabah pandemi virus corona atau Covid-19 telah membentuk beragam sikap di masyarakat.
Salah satu sikap yang terjadi adalah masyarakat menjauhi dokter, perawat atau petugas medis lainnya yang notabene garda terdepan penanggulangan Virus Corona.
• 500 Alat Pelindung Diri dari IKA Unhas, Tenaga Medis Covid-19 di Sulsel dapat 300, Sultra-Sultra 200
• Marak Iklan Pinjaman Online di Masa Pandemi Virus Corona, Ini Tips dari OJK Agar Kamu Tidak Tertipu
Bahkan tercipta stigma untuk menjauhi paramedis tersebut dengan alasan tidak tertular.
Padahal dokter, para perawat, dan tim medis lainnya telah menggunakan alat pelindung diri (APD) agar tidak terpapar.
Namun hal tersebut tetap saja terjadi. Bahkan tak jarang dari anggota keluarga hingga suami atau istri sendiri.
Terkait suka-duka penanganan Covid-19, seperti dikisahkan Ketua Tim Gerak Cepat Tanggap Covid -19 Puskesmas Lau, Kabupaten Maros, Sardiayana.
Ia menceritakan suka dukanya selama melakukan pemeriksaan terhadap pasien Covid -19.
Sukanya ia dapat membantu menolong orang, dan pencegahan penularan Covid -19.
"Tapi itu lagi dukanya, orang takut kontak langsung, karena resikonya besar sekali, orang tidak tahu," ujarnya Senin (27/4/2020)
Bahkan ia mengaku harus pisah ranjang dengan suaminya, sejak Maret lalu.
"Suami jaga jarak, dia bilang ia tidak tahu saya bawa virus atau tidak, bahkan sekarang kami pisah kamar.
• 9 Hal yang Harus Dihindari Supaya Puasa Ramadhan Tak Batal, Lengkap Penjelasan
• KRONOLOGI Oknum Guru Honorer Sodomi Siswa, Modus Latihan Pramuka dan Pelajaran Tambahan di Sekolah
Saya tidur di kamar tamu, sementara suami tidur di kamar dengan anak - anak," jelasnya sambil diiringi tawa
Ibunya sendiri pernah melakukan nazar saat ia melakukan rapid test, setelah salah satu orang yang pernah dia ambil swabnya dinyatakan positif.
"Ibu sampai menangis waktu saya mau rapid test, bahkan katanya dia sampai nazar kalau hasilnya negatif mau puasa," ucapnya
Kendala yang sering ia hadapi dilapangan saat melakukan pemeriksaan swab adalah adanya penolakan dari pihak yang ingin di periksa.
"Waktu awal cukup sulit, karena orang - orang masih menganggap ini penyakit aib, sehingga orang yang mau diambil swabnya menolak," katanya
"Untuk keamanannya cukup memadai, karena saat turun memantau pasien kami menggunakan APD lengkap," tambahnya
Tapi setelah diberi edukasi, akhirnya mereka mau diperiksa.
"Penting juga untuk memberi pemahaman dengan masyarakat umum, agar tidak mengucilkan orang yang terjangkit," lanjutnya.
• Pengunjung Warkop Kabur Berhamburan Lihat Petugas Ber-APD Datang, Ada yang Belum Sempat Bayar Kopi
• Vera si Pemandu Lagu Tewas Usai Tenggak Miras Oplosan,Teman Lelaki Korban: Cuma Habis Beberapa Ceret
Saat ini pihaknya sedang menangani satu pasien positif isolasi mandiri, yang sedang menunggu hasil swabnya.
"Khusus di Kecamatan Lau, pasien Positif ada 3 kasus, PDP 1 orang, ODP 15 orang. Sekarang pasien sedang menunggu hasil Swab," ujarnya
Ia pun berharap agar masalah ini bisa segerah teratasi dan aktifitas bisa kembali normal.
"Semoga ini cepat selesai, sehingga bisa beraktifitas seperti biasa,
"Dan untuk imbauan menjaga kebersihan tetap harus dijalankan meski nantinya wabah ini sudah tidak ada," tutupnya.
Lawan Stigma Hingga Dijauhi Masyarakat
Di tengah wabah virus Corona, dokter, perawat atau petugas medis lainnya berperan sebagai garda terdepan.
Namun, peran mereka yang sangat penting itu terkadang dikucilkan oleh masyarakat.
Hal tersebut sama seperti yang dirasakan oleh Rani Lestari S.kep., Ners (45).
Dia adalah salah seorang perawat pasien corona di Rumah Sakit (RS) Dr Tadjuddin Chalid, Jl Paccerakkang, Kota Makassar.
Menurut Rani, bukan hanya seorang pasien yang sering dikucilkan oleh masyarakat.
Sebagai perawat dia pun merasakan hal itu.
"Kami juga merasa dikucilkan juga loh. Iya benar. Jangankan orang luar, teman sekantor saja lah," ungkap Rani saat dihubungi tribun-timur.com, Kamis (23/4/2020).
Menurutnya, hal ini terjadi karena tingkat kecemasan dan ketakutan orang-orang sudah berada di ambang batas.
Ketika keluar dari ruang isolasi, ceritanya, dia dijauhi oleh orang-orang.
"Kitanya aja yang keluar dari ruangan itu pada dijauhi seperti kita yang bawa kuman," katanya.
Sekarang, kata Rani, bukan lagi pasien corona yang ditakutinya.
Namun, pandangan orang-orang yang seakan-akan dirinya adalah pembawa virus.
Dia pun sempat dikatakan terkena virus.
Hal tersebut karena posisinya sebagai perawat yang mengharuskan mandi usai jaga pasien.
"Bayangkan kalau berapa malam kita jaga malam, bukan hanya jaga malam pokoknya habis jaga mandi,
"Sampai di penginapan mandi lagi, namanya orang flu pasti flu lah," katanya sambil ketawa kecil.
"Ujungnya kita yang sakit bukan karena corona, karena kebersihannya," sambungnya.
Karena dia dan teman-teman perawat dikarantina di wisma rumah sakit, maka rasa rindu dengan keluarga terkadang datang.
Dirinya bersama dengan perawat lainnya sering kali curhat tentang kerinduannya itu. Mereka saling menguatkan satu sama lain.
• Besar di Persipura, Talenta Papua Ini 2 Musim Perkuat PSM, Masih Ingat Titus Bonai? Begini Kiprahnya
• Produk SUV Toyota Resmi Meluncur, Yaris Cross Beda Yaris Reguler, Simak Spesifikasi dan Foto-fotonya
"Saya rindu sama anak saya, saya juga rindu sama anak saya. Tapi mau diapa dek, sudah risiko. Pokoknya kamu bawanya happy aja," ceritanya.
Dia pun meminta masyarakat untuk mengubah pola pikirnya dan selalu tingkatkan imun dan iman.
"Ubah pola pikir ya, selalu berharap untuk yang terbaik tetap sehat. Kapan kita meminta yang terbaik, Tuhan pasti kasi yang terbaik.
"Kalau kita mikirnya sakit, ya ujung-ujungnya pasti sakit," tutup Rani. (*)