Opini
Bendera Topi Jerami: Dentuman Drum of Liberation di Riak Hari Merdeka
Kita pasang umbul-umbul, cat portal merah putih, dan mulai bersuara soal nasionalisme meski kadang tak sempat mengecat hati.
Dalam Islam, ada istilah tafa’ul, ungkapan harap dari lambang-lambang yang dipilih semesta.
Bukan syirik, bukan tahayul, tapi semacam doa tanpa kata yang disampaikan lewat tindakan. Maka mengibarkan bendera Luffy bukan sekadar gaya-gayaan.
Barangkali itu adalah cara anak muda hari ini berdoa: “Ya Tuhan, izinkan negeri ini menjadi tempat di mana mimpi tidak ditertawakan.”
Simbol bisa lebih fasih dari ceramah, jika yang mendengar adalah hati. Dan kalau Tuhan memang Maha Mendengar, semoga Ia juga mendengar dari arah tiang bendera yang tak resmi itu.
Sebab harapan, tak selalu lahir dari khutbah, kadang dari komik yang dibaca saat lampu mati.
Dulu, Iwan Fals hanya pakai gitar, tapi suaranya menembus pagar-pagar istana. Wiji Thukul tak punya panggung, tapi puisinya sampai ke ruang-ruang pengadilan. Unyil cuma boneka, tapi siapa sangka ia bisa menyentil kekuasaan dengan bahasa anak-anak. Kini, anak muda punya anime, punya internet, dan punya simbol-simbol baru untuk bicara. Mereka tidak diam, hanya sedang bicara dalam dialek zaman yang berbeda. Jangan buru-buru menuduh mereka lupa sejarah—bisa jadi mereka sedang menulis sejarah dengan font yang kita belum kenal. Dan kalau bangsa ini bijak, ia akan mendengar, bukan mencela
Kita bisa memilih untuk mencibir, bisa pula memilih untuk mendengar sebab suara kebenaran kadang muncul dari tempat yang tak diduga.
Dari simbol fiksi pun bisa tumbuh kesadaran yang lebih tulus dari sekadar upacara formalitas.
Bendera yang dikibarkan itu bukan soal benangnya, bukan soal warnanya, tapi soal jiwa yang mengibarkannya.
Kalau ada anak muda yang memilih bendera Topi Jerami, siapa tahu mereka sedang melukis Indonesia dengan palet yang belum sempat kita cicipi.
Barangkali di sana, di ujung tiang bendera itu, ada impian tentang negeri yang adil dan ramah bagi semua.
Dan kita yang tua-tua ini, jangan buru-buru menghakimi. Tugas kita bukan melarang mimpi, tapi memastikan mimpi itu sempat tumbuh sebelum layu.
Maka menjelang 17 Agustus, kita duduk sebentar saja, menanyakan pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Merdeka dari ketakutan yang membusuk dalam diam, dari apatisme yang menyamar jadi modernitas, dari luka sejarah yang belum mau sembuh.
Merah Putih akan tetap jadi pusat semesta kita, tapi kadang kita butuh bintang kecil lain untuk mengingatkan arah layar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.