Profil
Tom, Hasto dan Pengampunan Presiden
Presiden Prabowo Subianto membuka bab baru dalam sejarah hukum dan politik Indonesia.
*M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)
TRIBUN-TIMUR.COM- Presiden Prabowo Subianto membuka bab baru dalam sejarah hukum dan politik Indonesia.
Lewat Keputusannya sebagai Kepala Negara, menjelang Hari Kemerdekaan, ia memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong, yang sebelumnya keduanya diperkarakan dalam kasus korupsi.
Tak banyak yang menyangka, bahwa langkah ini akan ditempuh. Akibatnya, publik pun terbelah, ada yang mengapresiasi sebagai bentuk keberpihakan seorang kepala negara kepada penegakan hukum yang adil, tetapi ada juga yang mengkritik, menganggapnya sebagai langkah kompromi politik dan upaya Prabowo menjinakkan lawan politiknya.
Dari sisi hukum tata negara, sebetulnya langkah itu sah. UUD 1945 memang memberi presiden hak prerogatif untuk memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi (baca pasal 14 UUD 1945). Di mana grasi, berupa pengampunan dalam bentuk pengurangan hukuman. Kemudian amnesti sebagai pengampunan dalam bentuk penghapusan atau pelupaan kesalahan. Lalu abolisi lebih jauh lagi: mengampuni dalam bentuk membatalkan proses hukum yang sedang berjalan, karena dianggap tidak layak diadili sejak awal.
Yang membuat pemberian kali ini terasa istimewa bukan semata karena jumlahnya, di mana lebih dari seribu orang mendapat amnesti. Tetapi karena dua nama besar yang terlibat dan jenis perkara yang disangkakan. Kita tahu, sejak era Soekarno hingga Gus Dur, amnesti dan abolisi lebih sering diberikan untuk kasus-kasus politis, misalnya makar, separatisme, pembangkangan terhadap rezim. Jarang sekali, bahkan hampir tak pernah, instrumen konstitusional ini digunakan untuk perkara korupsi.
Baca juga: Permintaan Khusus Tom Lembong ke Prabowo, Eks Pejabat Terancam Jika Presiden Tolak
Presiden tampaknya ingin menunjukkan keberanian politik. Dalam kasus Hasto, ia memberi pengampunan dengan melupakan kesalahannya. Dalam kasus Tom Lembong, ia membatalkan seluruh proses hukum dengan alasan bahwa peradilan terhadapnya cacat sejak awal. Dalam bahasa halus, ini semacam koreksi presiden terhadap kekuasaan yudikatif. Dalam bahasa yang lebih tegas: Presiden menilai pengadilan sesat.
Presiden memang memiliki hak konstitusional untuk menilai itu. Tapi masalahnya bukan di situ. Masalahnya adalah pada konsistensi dan kepada siapa. Apakah keputusan ini lahir dari niat untuk memperbaiki sistem hukum secara menyeluruh? Ataukah sekadar bagian dari rekonsiliasi di antara elite politik yang saling bergantung?
Pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas bahwa ini bagian dari “persatuan 17 Agustus” tidak membantu meredakan kecurigaan itu. Sebaliknya, ia justru mempertegas bahwa tindakan ini punya aroma kompromi politik.
Jika Presiden benar ingin membenahi sistem hukum, seharusnya yang dikoreksi bukan hanya kasus Tom Lembong. Ada ribuan kasus cacat hukum yang bahkan lebih menyedihkan. Ada orang-orang biasa yang dikriminalkan hanya karena menyampaikan pendapat. Ada petani yang dipenjara karena mempertahankan tanah. Ada buruh yang ditangkap karena mogok kerja. Bahkan suatu waktu, pernah peserta Aksi Kamisan ditahan karena dituduh “melawan kapitalisme”.
Ironisnya, Tom Lembong justru divonis bersalah oleh pengadilan, karena dianggap terlalu mendukung kapitalisme. Di satu sisi, mendukung kapitalisme bisa dianggap kejahatan. Di sisi lain, menolak kapitalisme juga dianggap melawan hukum. Hukum berubah-ubah tergantung siapa yang duduk di kursi pesakitan.
Ini menunjukkan bahwa persoalan hukum kita bukan semata pada pasal-pasalnya, melainkan pada penegaknya. Polisi yang menyalahgunakan wewenang. Jaksa yang sembrono. Hakim yang politis. Penyidik KPK yang kehilangan kredibilitas. Ini bukan persoalan orang per orang, ini soal sistem yang sakit.
Presiden Prabowo bisa saja mulai dari kasus Tom Lembong. Tapi tidak boleh berhenti di sana. Jika niatnya adalah koreksi sistemik, maka koreksi itu harus menyentuh akar: mereformasi total aparat penegak hukum. Kepolisian sebagai garda terdepan harus direstrukturisasi. Kejaksaan harus dibersihkan dari konflik kepentingan. KPK perlu dikembalikan ke jalurnya yang semula.
Yang lebih penting: keberanian Presiden harus berlaku untuk semua warga negara, bukan hanya tokoh publik. Jangan sampai abolisi hanya diberikan pada mereka yang punya akses ke kekuasaan, sementara rakyat biasa dibiarkan menghadapi hukum yang sewenang-wenang tanpa pelindung.
Dahulu, BJ Habibie memberikan abolisi untuk Sri Bintang Pamungkas sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi. Habibie ingin mengubah cara berpikir negara bahwa mengkritik penguasa bukanlah kejahatan. Apakah Prabowo berani melakukan hal serupa, tidak hanya untuk kolega politik, tetapi untuk rakyatnya?
Profil Amar Amrullah Asikin, Jendlap Demo PMII di DPRD Sinjai |
![]() |
---|
Profil Sertu Beni Sesean Raih Perunggu Kejuaraan Karate Dunia, Dandim 1403 Palopo Beri Penghargaan |
![]() |
---|
Sosok Wartawan Senior sekaligus Alumni Ekonomi Unhas Mulawarman Minta DPRD Tutup Sementara |
![]() |
---|
24 Tahun Jadi Jaksa, Jejak Karier Febriyan Putra Watampone Nakhodai Kejari Maros |
![]() |
---|
Profil Febryan Kajari Maros Asal Bone, Pernah Tangani Kasus Korupsi Rp700 Juta di Riau |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.