Opini
Intoleransi Agama: Tanggung Jawab Negara
Pada 27 Juni 2023, umat kristen yang sedang melaksanakan retret di Cinahu, Sukabumi, dipaksa untuk menghentikan kegiatan mereka secara brutal.
Lebih jauh, puluhan anak-anak yang seharusnya merasakan kenyamanan dan keamanan dalam belajar agama, malah dipaksa merasakan trauma dan kekerasan.
Kejadian ini mengingatkan kita bahwa hak untuk beribadah dan mendapatkan pendidikan agama merupakan hak dasar yang dijamin oleh negara.
Namun kenyataanya dilapangan banyak umat minorotas yang justru menjadi sasaran diskriminasi, intimidasi, dan bahkan kekerasan.
Data yang tercatat di Indonesia, bahwa insiden intoleransi tidak hanya terjadi di Sukabumi dan padang, tetapi juga diberbagai daerah lain seperti Aceh, Jawah Tengah, Papua, Sulawesi Selatan dan provinsi-provinsi lainnya.
Menurut data yang dirilis oleh Setara Institute pada tahun 2021, Indonesia mengalami penigkatan signifikan dalam kasus kekerasan berbasis agama, dengan lebih dari 50 kasus intoleransi tercatat dalam kurung waktu satu tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah intoleransi bukanlah hal yang sesekali terjadi, melainkan telah menjadi isu serius dari pemerintah dan daerah.
Trauma dan Dampaknya
Trauma yang dialami korban bukan hanya luka fisik atau kehilangan tempat ibadah, tetapi jauh lebih dalam lagi.
Mereka yang mengalami kekerasan ini akan membaw beban psikologis yang berat, yang berpotensi menganggu perkembangan mental dan psikologis mereka, bahkan trauma ini bisa beregenerasi ke anak cucu mereka.
Lebih dari itu, rasa takut dan ketidakpercayaan terhadap negara, serta ketidakpercayaan terhadap negara, serta ketidakpercayaan terhadap mayoritas pemeluk agama yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kasih, kedamaian, dan toleransi, muncul sebagai dampak jangka panjang.
Rasa trauma yang dialami oleh korban bisa bertahan lama dan menurunkan kualitas hidup mereka.
Namun yang saya sesalkan adalah, setiap kali insiden intoleransi terjadi, seringkali kita mendengar alasan “miskomunikasi” dari pemerintah daerah ke apparat.
Alasan ini tentu tidak cukup menjawab problem yang ada. Bagi saya, akar dari sikap intoleransi ini adalah lahir dari diskriminasi structural yang telah dipeliharaoleh negara.
Ketidakmampuan negara dalam memberikan izin untuk membangun rumah ibadah secara adil, serta pemberlakukan regulasi yang hanya berlaku untuk penganut minoritas, menciptkan ketidakadilan yang memperburuk situasi.
Sebagai contoh, pada tahun 2019, pemerintah daerah di Kabupaten Cianjur pernah menunda pembangunan gereja dengan alasan keamanan, meskipun telah memenuhi seluruh persyaratan hukum yang ditetapkan.
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20250731-Nita-Amriani.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.