Opini
Parepare Bukan Kota Luka, Tapi Kota yang Terus Berbenah
Tuduhan itu tidak hanya tidak adil bagi pemerintah kota, tapi juga melukai perasaan masyarakat yang selama ini hidup rukun di Parepare.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Ketua LBH Ansor Kota Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - OPINI yang ditulis Prof. Hannani Yunus (HY) berjudul “Parepare adalah Kota Damai, Bukan Intoleran Apalagi Sengketa” beberapa hari lalu telah ditanggapi dengan tulisan berjudul “Di Balik Jargon Damai, Luka Moral di Parepare Tak Pernah Sembuh”.
Tulisan itu berniat membongkar narasi damai, tapi sayangnya terlalu dini menyimpulkan bahwa Parepare sedang mengalami “luka moral” dan gagal menjamin toleransi.
Tuduhan itu tidak hanya tidak adil bagi pemerintah kota, tapi juga melukai perasaan masyarakat yang selama ini hidup rukun di Parepare.
Sebagai warga yang tinggal dan mengikuti langsung dinamika sosial di kota ini, izinkan saya memberi pandangan dan data pembanding agar publik tak terjebak pada narasi tunggal yang menyudutkan Parepare.
Salah satu hal yang paling menonjol dari opini “luka moral” tersebut adalah menjadikan satu kasus yakni penolakan terhadap pembangunan Sekolah Gamaliel sebagai dasar menyimpulkan bahwa Parepare sedang krisis toleransi. Padahal, yang terjadi lebih kompleks dari sekadar isu agama.
Penolakan yang muncul dari sebagian warga justru lebih banyak berkaitan dengan persoalan teknis, seperti status perizinan, tata ruang, dan komunikasi yang kurang maksimal antara yayasan dan warga sekitar.
Ini hal lumrah dalam dinamika pembangunan di kota manapun, bukan cermin kebencian atau intoleransi.
Dan benar yang disampaikan HY dalam tulisannya, Pada Tanggal 30 Juni 2025 Forkopimda dan FKUB sudah menyelesaikan persoalan Sekolah Gamaliel, dan sekarang proses perizinan sudah lengkap.
Kalaupun masih ada kelompok yang menolak seperti Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P), dalam berita acara rapat Forkopimda tersebut ditegaskan yang keberatan terkait pembangunan Sekolah Gamaliel dapat melakukan upaya hukum.
Dan yang patut diapresiasi, forum seperti FKUB dan Forkopimda segera turun tangan memediasi. Pemerintah kota juga bersikap terbuka dengan menegaskan bahwa siapa pun berhak mendirikan lembaga pendidikan di Parepare, sepanjang sesuai aturan dengan peraturan perundang-undangan.
Apakah ini yang disebut “pengkhianatan otoritas” atau justru contoh bahwa Parepare bisa menyelesaikan perbedaan secara damai?
Opini “luka moral” banyak bertumpu pada hasil riset Indeks Kota Toleran (IKT) oleh Setara Institute yang menempatkan Parepare di peringkat terbawah.
Tentu kita menghargai riset itu sebagai alarm, tapi kita juga perlu mengkritisi apakah riset tersebut melihat Parepare secara utuh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.