Opini
Anggaran Daerah, oleh Siapa untuk Siapa?
Kebutuhan seperti apa? Tentu saja paling mendasar dalam kehidupan sosial: kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan.
Program dan kegiatan yang tertuang dalam APBD kerap tidak mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.
Aspirasi warga hanya hadir dalam bentuk “catatan,” bukan dalam wujud anggaran dialokasikan.
Akibatnya, banyak program bersifat top-down—disusun secara teknokratis pemerintah tanpa dialog berarti dengan warga—sehingga tidak jarang terjadi ketidaksesuaian belanja dan kebutuhan lokal.
Sementara itu, masyarakat di perdesaan masih kekurangan akses air bersih, jalan lingkungan yang layak, dan tenaga pengajar di sekolah dasar.
Ironisnya, dari sisi kebijakan fiskal, struktur APBDpun mencerminkan kecenderungan serupa.
Pada APBD 2024, Pemprov Sulawesi Selatan mengalokasikan lebih dari Rp5,8 triliun untuk belanja tidak langsung—mencakup belanja pegawai dan barang birokrasi—atau lebih dari separuh total belanja daerah.
Ini menyisakan ruang yang sempit untuk belanja produktif yang langsung menyentuh rakyat.
Namun demikian, tidak semua kepala daerah mengikuti arus yang sama.
Beberapa pimpinan daerah di Sulsel secara tegas menolak pengadaan kendaraan dinas baru dan justru mengalihkan anggaran tersebut untuk perbaikan jalan dan pelayanan publik.
Saat ini, pemerintah daerah tengah memasuki proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P).
Harapannya, penyusunan anggaran tidak lagi bersifat teknokratis dan tertutup, tetapi benar-benar menyerap aspirasi publik melalui forum-forum partisipatif, seperti hasil reses DPRD, musrenbang, dan dialog warga.
Tanpa keterlibatan yang bermakna, anggaran hanya akan menjadi daftar belanja rutin—bukan alat transformasi dan keadilan sosial.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.