Opini
HUT ke-79 Bhayangkara: Robot Humanoid versus Humanisasi Polri
Di sana hak-hak sipil dilindungi melalui pengayoman dan pelayanan masyarakat. Bila pembuluh darah ini tersumbat, demokrasi dipastikan lumpuh.
Oleh: Andi Muzakkir Aqil, SH. MH
Anggota DPR RI
TRIBUN-TIMUR.COM - Di jantung demokrasi Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi pembuluh darah keamanan dan ketertiban.
Di sana hak-hak sipil dilindungi melalui pengayoman dan pelayanan masyarakat. Bila pembuluh darah ini tersumbat, demokrasi dipastikan lumpuh.
Dengan kata lain, demokrasi yang sehat memerlukan Polri yang sehat. Tegas belumlah cukup. Ini hanya raga, belum jiwa. Jiwanya melekat pada prinsip-prinsip humanisme, keadilan, tranparansi.
Di tengah masyarakat yang semakin kritis, jargon tak lagi mempan. Masyarakat melihat tindakan dan jiwa yang menggerakkan tindakan itu.
Satu kekeliruan penanganan bisa berakibat komplikatif pada imej dan nama besar Polri.
Ya, zaman berubah cepat. Teknologi digital yang menghadirkan media sosial (medsos) sigap merespon silap aparat.
Sedikit saja penyimpangan perilaku aparat, sat-set, nila setitik bakal mendegradasi citra Polri.
Hasil survei Litbang Kompas Januari 2025 menempatkan Polri sebagai institusi negara dengan citra positif sebesar 65,7 persen.
Meski tidak buruk-buruk amat, namun nilai ini menjadi yang terendah dibandingkan dengan citra positif institusi lain.
Anehnya, survey yang sama menemukan kepuasan masyarakat terhadap stabilitas politik dan keamanan, yakni sebesar 85,8 persen.
Angka ini merupakan pencapaian tertinggi bila dibandingkan dengan kesejahteraan sosial (83,7 persen), ekonomi (74,5 persen) serta penegakan hukum dan HAM (72,1 persen).
Mengapa aneh? Karena angka stabilitas politik dan keamanan (salah satunya) disumbangkan oleh Polri.
Jadi, terlihat gap besar antara prestasi dan imej. Di saat stabilitas politik dan kemanan menjadi tertinggi, citra positif Polri justru menjadi yang terendah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.