Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mewaspadai Ormas Berkedok Preman

Penggunaan atribut mirip militer atau aparat negara, membuat kerap melakukan aksi intimidasi, sweeping, bahkan kekerasan di ruang publik tanpa dasar.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Dr Ir N Tri Suswanto Saptadi SKom MT MM IPM Dosen Universitas Atma Jaya Makassar (UAJM), Tim Komkep KAMS, Koord. ISKA Wilayah Sulawesi, Ketua IKDKI Wilayah SulSelTraBar,  Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) RI PPRA LX 2020.   

Oleh:  Dr Ir N Tri Suswanto Saptadi SKom MT MM IPM 

Dosen Universitas Atma Jaya Makassar (UAJM), Tim Komkep KAMS, Koord. ISKA Wilayah Sulawesi, Ketua IKDKI Wilayah SulSelTraBar,  Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) RI PPRA LX 2020.  
 
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena organisasi kemasyarakatan (ormas) yang beroperasi dengan berkedok atau bergaya preman semakin mencemaskan.

Penggunaan atribut mirip militer atau aparat negara, membuat kerap melakukan aksi intimidasi, sweeping, bahkan kekerasan di ruang publik tanpa dasar hukum yang sah.

Ironisnya, banyak dari ormas ini terdaftar resmi di pemerintah dan mengklaim sebagai penjaga moralitas serta keutuhan bangsa.

Namun, di balik klaim tersebut, terdapat praktik kekuasaan informal yang merusak sendi negara hukum dan demokrasi. 

Fenomena ini bukan hanya gangguan terhadap ketertiban umum, tetapi juga menjadi ujian serius bagi penegakan hukum di Indonesia.

Negara ditantang untuk menunjukkan keberpihakan kepada konstitusi, bukan pada kelompok yang berlindung di balik simbol keormasan, namun menjalankan fungsi seolah-olah adalah negara itu sendiri.  

Berdasarkan fenomena dan peristiwa yang aktual di berbagai media massa, kemudian Pengurus Ikatan Sarjana Katolik Dewan Pimpinan Daerah Sulawesi Selatan (ISKA DPD Sulsel) mengadakan diskusi dengan tema “Premanisme Berkedok Organisasi Kemasyarakatan: Ancaman terhadap Negara Hukum dan Ketertiban Umum” pada Jumat, 30 Mei 2025. 
 
Ormas atau Premanisme Terorganisasi? 

Ormas dalam sistem demokrasi seharusnya menjadi pilar penting partisipasi publik, advokasi sosial, dan penjaga moral kolektif.

Namun, ketika ormas berubah menjadi alat intimidasi, baik untuk kepentingan politik, ekonomi, budaya, maupun kekuasaan, maka akan kehilangan legitimasi sosial dan justifikasi moral. 

Sebagai contoh nyata adalah ormas yang melarang toko-toko buka di malam hari, merazia tempat hiburan tanpa kewenangan hukum, atau mendatangi lembaga negara untuk menekan kebijakan tertentu. Tak jarang pula ormas tersebut mengatasnamakan Pancasila, agama, atau nasionalisme sebagai pembenaran tindakan.

Ironisnya, beberapa diantaranya malah menjual atribut menyerupai TNI atau Polri secara terbuka, seolah-olah berusaha menciptakan struktur paralel di luar sistem hukum formal. 

Fenomena ini semakin memperparah ketika para pejabat publik tidak bersikap tegas. Dalam beberapa kasus, justru ada kedekatan antara pejabat dan kelompok ormas tertentu.

Akibatnya, ruang impunitas tumbuh. Pembiaran ini bukan hanya melemahkan supremasi hukum, tetapi juga memberi pesan keliru bahwa kekuatan massa lebih didengar ketimbang aturan hukum yang sesungguhnya. 
 
Regulasi Ada, Tapi Tidak Tegas 

Peraturan terkait ormas sebenarnya sudah ada. UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan perubahannya melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 memberikan pemerintah kewenangan untuk membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved