Opini
Kepatuhan Badan Publik Setelah 15 Tahun UU KIP di Sulawesi Selatan
Tak dapat dipungkiri, keterbukaan informasi di lingkungan badan publik menunjukkan kemajuan yang layak diapresiasi.
Padahal, UU KIP telah mengatur dengan jelas kategori informasi yang dapat dikecualikan serta prosedur untuk menetapkannya.
Sikap tertutup seperti ini justru bertolak belakang dengan semangat dasar keterbukaan informasi yang ingin mendorong kepercayaan publik serta memperbaiki tata kelola pemerintahan secara keseluruhan.
Karena itu, kepatuhan terhadap UU KIP sejatinya tidak berhenti pada pemenuhan permintaan informasi saja.
Kepatuhan yang utuh tercermin dalam pembangunan sistem internal yang mendukung keterbukaan: mulai dari penyusunan Daftar Informasi Publik (DIP) yang terperinci, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penguatan peran PPID, hingga komitmen pimpinan badan publik untuk menjadikan keterbukaan informasi sebagai budaya kerja yang mengakar.
Badan publik yang memahami hal ini tidak hanya akan dinilai “informatif” dalam penilaian administratif, tetapi juga akan memperoleh kepercayaan yang lebih kuat dan berkelanjutan dari masyarakat.
Tentu saja, kemajuan keterbukaan informasi publik selama ini juga tidak terlepas dari kontribusi berbagai aktor masyarakat sipil.
Peran aktif media massa, akademisi, dan penggiat keterbukaan informasi menjadi motor penggerak dalam mendorong badan publik untuk lebih transparan.
Sebagai contoh di Sulawesi Selatan, selain KI Sulsel beberapa NGO seperti Aliansi Keterbukaan Informasi Publik Sulsel, Yasmib, Jurnal Celebes, PerDik dan beberapa lainnya terlibat memberi penguatan terhadap peningkatan kualitas keterbukaan informasi publik.
Mereka tidak hanya mengajukan permintaan informasi, tetapi juga melakukan pengawasan, mengkritisi kebijakan, dan menyuarakan kebutuhan publik atas informasi yang relevan.
Tanpa tekanan, masukan, dan kontrol sosial yang berkelanjutan dari berbagai pihak ini, semangat keterbukaan dikhawatirkan akan luntur di tengah dinamika birokrasi yang kompleks.
Selain peran masyarakat sipil, penguatan kelembagaan KI Sulsel juga menjadi elemen penting dalam menjaga keberlangsungan keterbukaan informasi.
Dengan tantangan keterbukaan informasi yang kian kompleks di era digital, KI Sulsel perlu didukung dengan sumber daya yang cukup, baik dari sisi personel, anggaran, maupun aksesibilitas kewenangan.
Hanya dengan lembaga yang kuat dan responsif, mekanisme penyelesaian sengketa informasi serta pembinaan badan publik dapat berjalan lebih optimal, sehingga keterbukaan informasi benar-benar menjadi budaya, bukan sekadar kewajiban administratif.
Momentum 15 tahun UU KIP ini sepatutnya digunakan bukan hanya untuk sekadar memperingati, melainkan juga untuk merefleksikan capaian dan memperkuat komitmen di masa mendatang.
Bagi badan publik, keterbukaan informasi harus dipandang sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia, cermin kedewasaan berdemokrasi, dan pilar utama dalam membangun pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.