Opini
Kepatuhan Badan Publik Setelah 15 Tahun UU KIP di Sulawesi Selatan
Tak dapat dipungkiri, keterbukaan informasi di lingkungan badan publik menunjukkan kemajuan yang layak diapresiasi.
Oleh: Mattewakkan
Anggota Komisi Informasi Sulawesi Selatan periode 2011-2014 dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - 30 April 2025 menandai lima belas tahun sudah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menjadi bagian dari sistem hukum nasional kita.
Sejak diundangkan, UU ini membawa semangat baru yang begitu penting: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak dapat dipungkiri, keterbukaan informasi di lingkungan badan publik menunjukkan kemajuan yang layak diapresiasi.
Kita bisa melihatnya dari evaluasi tahunan yang dilakukan oleh Komisi Informasi Pusat. Dari evaluasi tersebut tercatat adanya peningkatan jumlah badan publik yang masuk dalam kategori “informatif” dan “menuju informatif”.
Tentu ini hal menggembirakan. Setidaknya menunjukkan adanya kesadaran yang tumbuh bahwa informasi publik bukan lagi sesuatu yang harus dirahasiakan, melainkan hak dasar masyarakat yang wajib diberikan dengan cepat, tepat, dan sederhana.
Pertanyaannya, apakah peningkatan ini cukup mencerminkan perubahan mendasar dalam budaya birokrasi kita?
Di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap UU KIP belum merata.
Dalam percakapan dengan Ketua Komisi Informasi Sulawesi Selata, Fauziah Erwin, penulis bisa menyimpulkan bahwa meskipun beberapa daerah mulai menunjukkan kemajuan, tidak sedikit pula badan publik yang masih tertinggal.
Ada yang belum memiliki PPID aktif, ada pula yang tingkat keterbukaan informasinya masih di bawah 20 persen, menandakan bahwa perubahan budaya birokrasi menuju transparansi belum sepenuhnya terjadi.
Masih banyak badan publik yang melaksanakan kewajiban keterbukaan informasi sebatas formalitas, tanpa benar-benar memahami esensi transparansi itu sendiri.
Penyediaan informasi publik seringkali berhenti pada aspek teknis, seperti memuat sejumlah dokumen di website resmi, tanpa memastikan aksesibilitas, keterbacaan, dan relevansi informasi tersebut bagi publik yang membutuhkan.
Selain itu, sikap defensif sebagian badan publik terhadap keterbukaan masih menjadi tantangan serius.
Ketakutan terhadap penyalahgunaan informasi kerap membuat mereka menahan-nahan pemberian informasi tanpa melalui mekanisme uji konsekuensi sebagaimana diatur dalam regulasi.
Penulis teringat ketika masih bertugas sebagai komisioner Komisi Informasi Sulsel (KI Sulsel) antara tahun 2011-2014, banyak badan publik yang menolak memberi beberapa dokumen/ informasi publik hanya dengan alasan belum ada perintah atasan, meskipun dokumen/informasi publik tersebut bersifat tersedia secara berkala.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.