Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Jose Segitya Hutabarat

Momentum Investasi Sulsel 2024: Transformasi Kebijakan Pemimpin Baru

Namun di balik angka PMA Rp1,936 T dan PMDN Rp2,239 T, tersimpan tantangan struktural: 72,27 persen investasi terkonsentrasi di sektor pertambangan.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Momentum Investasi Sulsel 2024: Transformasi Kebijakan Pemimpin Baru
Jose Segitya Hutabarat
OPINI - Jose Segitya Hutabarat Pengajar Ekonomi dan Bisnis (Entrepreneurship) di Sekolah Ciputra Kasih Makassar

Oleh: Jose Segitya Hutabarat

Pengajar Ekonomi dan Bisnis (Entrepreneurship) di Sekolah Ciputra Kasih Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Realisasi investasi Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Triwulan IV 2024 yang mencapai Rp4,175 triliun—meningkat Rp142 miliar dari periode sama 2023—menjadi bukti ketahanan ekonomi daerah di tengah ketidakpastian global.

Namun, di balik angka PMA Rp1,936 triliun dan PMDN Rp2,239 triliun, tersimpan tantangan struktural: 72,27 persen investasi terkonsentrasi di sektor pertambangan, sementara 5 kabupaten/kota hanya menyumbang 78,33 persen total investasi.

Kepemimpinan baru gubernur, wali kota, dan bupati yang baru dilantik diharapkan tidak hanya melanjutkan momentum ini.

Tetapi juga melakukan terobosan kebijakan untuk menjawab tiga persoalan krusial: ketimpangan spasial, ketergantungan sektor ekstraktif, dan tekanan iklim.

Peta Investasi 2024: Konsentrasi Spasial dan Implikasi Kebijakan

Analisis distribusi geografis investasi mengungkap pola ketimpangan yang kentara. Kota Makassar sebagai pusat pertumbuhan menyerap 30,64 persen investasi Triwulan IV (Rp1,271 triliun).

Sementara Kabupaten Jeneponto di wilayah periphery hanya memperoleh 2,72 persen (Rp113 miliar). 

Secara akumulatif 2024, lima wilayah utama—Makassar, Luwu Timur, Luwu, Bantaeng, dan Maros—menguasai 72,27 persen total investasi.

Fenomena ini sejalan dengan teori cumulative causation oleh Gunnar Myrdal, di mana pertumbuhan terakumulasi di wilayah inti akibat keunggulan infrastruktur dan sumber daya manusia.

Bagi pemimpin baru, pola ini menuntut kebijakan afirmatif berbasis keadilan spasial.

Salah satu strateginya adalah mengalokasikan 20 persen Dana Insentif Daerah (DID) untuk kabupaten dengan realisasi investasi di bawah 5 persen.

Seperti Jeneponto dan Palopo, dengan syarat pembangunan infrastruktur pendukung seperti jaringan listrik dan akses logistik.

Upaya ini perlu dibarengi revisi Perda Tata Ruang untuk memprioritaskan konektivitas wilayah periphery, misalnya melalui skema build-operate-transfer (BOT) untuk jalan tol industri di koridor Maros-Pangkep.

Selain itu, pemetaan klaster unggulan berbasis komoditas lokal di daerah tertinggal—seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) rumput laut di Takalar yang hanya menyumbang 1,2 persen investasi 2024—dapat menjadi solusi jangka panjang mengatasi kesenjangan.

Diversifikasi Sektor: Dari Ekstraktif ke Nilai Tambah

Dominasi sektor pertambangan (Rp4,020 triliun tahunan) dan logam dasar (Rp1,110 triliun) mencerminkan paradoks pembangunan: di satu sisi menjadi tulang punggung pertumbuhan, di lain sisi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global.

Teori Dutch Disease mengingatkan risiko stagnasi di sektor manufaktur jika tidak diimbangi hilirisasi.

Data Triwulan IV menunjukkan sektor tersier (perdagangan, transportasi) mulai bangkit dengan kontribusi Rp1,963 miliar, tetapi masih kalah oleh sektor primer (Rp1,765 miliar).

Untuk mengubah pola ini, kepemimpinan baru perlu merancang kebijakan fiskal transformatif.

Pertama, menerapkan pajak progresif sebesar 5 persen bagi perusahaan tambang yang mengekspor bahan mentah, dengan pengecualian bagi yang membangun smelter lokal.

Dana hasil pajak ini dapat dialokasikan ke Badan Pengelola Investasi Daerah (BPID) untuk mendanai hilirisasi.

Kedua, mengembangkan skema matching fund antara APBD dan swasta untuk memperluas kawasan industri pengolahan, seperti di Luwu Timur, dengan syarat penggunaan 30 persen komponen lokal.

Ketiga, memberikan insentif hijau seperti keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama dua tahun bagi perusahaan logistik yang beralih ke armada listrik, memanfaatkan momentum investasi transportasi Rp1,356 triliun tahun 2024.

Tata Kelola PMA: Kedaulatan Teknologi dan Lapangan Kerja

Dominasi Kanada sebagai investor terbesar (Rp2,245 triliun tahunan) di sektor pertambangan Luwu Timur menghadirkan dilema: di satu sisi menciptakan 5.247 lapangan kerja, di lain sisi berpotensi meminggirkan UMKM lokal.

Rasio tenaga kerja asing (TKA) 0,74 persen (39 orang) terkesan kecil, tetapi konsentrasi di posisi manajerial mengindikasikan minimnya transfer keterampilan.

Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah daerah perlu mengadopsi kebijakan local content plus yang mewajibkan perusahaan PMA mengalokasikan 5 persem nilai investasi untuk program upskilling tenaga lokal, dengan mekanisme reimbursement melalui APBD.

Pendirian technology transfer hub di kawasan industri Maros (6,62 persen investasi) yang difasilitasi APBD dan CSR perusahaan juga menjadi prioritas, khususnya untuk pengembangan teknologi pertambangan berkelanjutan.

Di sisi lain, penguatan UMKM rantai pasok melalui alokasi 15 persen Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk program pendampingan teknis dan akses pembiayaan mikro akan memastikan keterlibatan usaha kecil dalam operasional perusahaan PMA.

APBD 2025: Menuju Anggaran Berbasis SDGs

Tekanan efisiensi anggaran nasional Rp300 triliun harus dijawab dengan strategi smart austerity yang memadukan kepatuhan fiskal dan inovasi pembiayaan.

Pertama, refocusing belanja infrastruktur dengan mengalihkan 25 persen anggaran konvensional ke proyek green economy, seperti pembangunan eco-industrial park di Maros (Rp928 miliar investasi 2024) yang dilengkapi sistem pengolahan limbah terintegrasi.

Kedua, penerbitan social impact bond senilai Rp500 miliar untuk pembiayaan pelatihan vokasi 5.247 tenaga kerja, dengan pembayaran berbasis tingkat penyerapan kerja.

Ketiga, integrasi SDGs dalam penganggaran melalui alokasi 10 persen belanja tidak terduga untuk dana adaptasi iklim di wilayah pesisir dan penetapan indeks SDGs sebagai kriteria evaluasi kinerja SKPD.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved