Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Qudratullah

Tagar KaburAjaDulu: Respons terhadap Realitas atau Hanya Budaya Digital?

Ungkapan ini sering digunakan di media sosial sebagai respons terhadap situasi yang tidak menyenangkan terhadap realitas sosial.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Tagar KaburAjaDulu: Respons terhadap Realitas atau Hanya Budaya Digital?
Dr Qudratullah MSos
OPINI - Dr Qudratullah MSos Dosen Institut Agama Islam Negeri Bone

Hal ini mencerminkan bagaimana budaya digital sering kali mendorong respons instan tanpa refleksi mendalam terhadap makna di balik suatu fenomena. 

Hal ini relevan dengan Teori Kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner.

Teori ini menjelaskan bagaimana paparan media dalam jangka panjang dapat membentuk cara berpikir individu dan persepsi mereka terhadap realitas sosial.

Dalam konteks budaya digital, individu yang terus-menerus terpapar tren media sosial cenderung mengadopsi pola komunikasi yang cepat dan reaktif.

Alih-alih melakukan refleksi kritis, mereka lebih fokus pada mengikuti arus informasi yang berkembang secara instan.

Hal ini membuat budaya media sosial lebih berorientasi pada reaksi spontan dibandingkan pemahaman mendalam terhadap suatu fenomena.

Dalam dunia media sosial, fenomena seperti ini bukanlah hal baru. Masyarakat sering kali terbawa arus viral tanpa memahami latar belakangnya.

Misalnya, banyak orang menggunakan frasa atau tagar tertentu hanya karena sedang populer, bukan karena mereka benar-benar mengalami atau mendukung makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam kasus #KaburAjaDulu, mungkin saja beberapa orang menggunakan untuk menggambarkan pengalaman pribadi dalam menghadapi tekanan hidup.

Tetapi banyak juga yang sekadar menggunakannya sebagai bagian dari humor digital tanpa benar-benar memiliki urgensi untuk “kabur” dari sesuatu.

Sikap ikut-ikutan ini menunjukkan bagaimana budaya media sosial membentuk pola pikir masyarakat dalam menanggapi suatu isu.

Alih-alih memahami konsep di balik sebuah tren, banyak orang hanya melihatnya sebagai sesuatu yang menarik atau menghibur untuk diikuti.

Pada akhirnya, fenomena ini memperlihatkan bagaimana tren digital bisa kehilangan makna aslinya ketika digunakan secara berlebihan tanpa konteks yang jelas.

Hal ini sejalan dengan gagasan Baudrillard tentang simulacra, di mana sesuatu yang awalnya memiliki makna berubah menjadi sekadar simbol kosong karena terlalu sering direproduksi tanpa refleksi kritis.

Fenomena ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat modern semakin terbiasa dengan reaksi cepat tanpa proses berpikir yang lebih mendalam.

Media sosial mendorong perilaku instan di mana pengguna berlomba-lomba untuk mengikuti tren agar tetap relevan dalam percakapan daring, meskipun mereka tidak benar-benar memahami konteksnya.

Dalam jangka panjang, kecenderungan seperti ini dapat membuat individu kurang terbiasa dengan pemikiran kritis dan lebih mudah terpengaruh oleh arus opini yang berkembang tanpa dasar yang kuat.

Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar tagar, tetapi juga cerminan dari bagaimana masyarakat merespons tekanan dan ketidaknyamanan dalam hidup mereka.

Namun, jika penggunaannya hanya sekadar ikut-ikutan tanpa memahami makna di baliknya, fenomena ini bisa berubah menjadi sekadar bentuk hype sesaat yang kehilangan relevansinya.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menyikapi tren media sosial dan tidak sekadar mengikuti arus tanpa memahami esensinya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved