Opini Qudratullah
Tagar KaburAjaDulu: Respons terhadap Realitas atau Hanya Budaya Digital?
Ungkapan ini sering digunakan di media sosial sebagai respons terhadap situasi yang tidak menyenangkan terhadap realitas sosial.
Oleh: Dr Qudratullah MSos
Dosen Institut Agama Islam Negeri Bone
TRIBUN-TIMUR.COM - Tagar #KaburAjaDulu telah menjadi fenomena sosial yang menarik di Indonesia saat ini.
Ungkapan ini sering digunakan di media sosial sebagai respons terhadap situasi yang tidak menyenangkan terhadap realitas sosial.
Fenomena ini merefleksikan pola perilaku masyarakat Indonesia dalam menghadapi masalah, yang cenderung menghindari konfrontasi dan mencari solusi instan untuk menghindari ketidaknyamanan.
Masyarakat Indonesia memiliki budaya kolektif yang menjunjung tinggi keharmonisan sosial. Budaya ini menyebabkan individu lebih memilih untuk menghindari konflik daripada menghadapinya secara langsung.
Edward T. Hall dalam teorinya tentang komunikasi lintas budaya menjelaskan bahwa masyarakat dengan konteks komunikasi tinggi, seperti Indonesia, cenderung mengandalkan makna implisit dalam komunikasi mereka.
Hal ini menyebabkan banyak orang lebih memilih diam atau menghindar daripada harus menghadapi konflik secara terbuka.
Dalam berbagai aspek kehidupan, kecenderungan untuk “kabur” tampak nyata.
Dalam situasi saat ini misalnya, banyak orang menggunakan #kaburajadulu sebagai ajakan untuk pindah ke negara lain mengadu nasib.
Hal tersebut tentunya menjadi sebab dari ketidaknyamanan yang dirasakan pada dinamika pekerjaan di Indonesia.
Dari perspektif psikologi, fenomena ini dapat dikaitkan dengan mekanisme pertahanan diri atau coping mechanism yang disebut avoidance coping.
Lazarus dan Folkman menjelaskan bahwa avoidance coping adalah strategi yang digunakan individu untuk menghindari stresor, yang dalam jangka pendek mungkin terasa mengurangi kecemasan tetapi dalam jangka panjang dapat memperburuk keadaan.
Ketakutan terhadap konfrontasi juga bisa berakar dari pola asuh yang menekankan kepatuhan tanpa memberikan banyak ruang bagi individu untuk mengekspresikan pendapat mereka secara bebas.
Di era digital, budaya serba cepat atau instant gratification semakin memperkuat kecenderungan ini.
Masyarakat terbiasa dengan kepuasan instan dan solusi cepat, sehingga menghadapi permasalahan dengan cara yang lebih panjang dan kompleks terasa semakin tidak menarik.
Seiring dengan perkembangan teknologi, pola pikir ini semakin mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Dampak dari fenomena ini bisa bersifat positif maupun negatif.
Di satu sisi, menghindari konflik dapat membantu mencegah ketegangan yang tidak perlu serta memberikan waktu untuk refleksi sebelum mengambil keputusan.
Namun, di sisi lain, kebiasaan menghindari masalah tanpa menyelesaikannya justru bisa memperburuk keadaan dan menimbulkan konsekuensi yang lebih besar di masa depan.
Kurangnya keterampilan dalam menyelesaikan konflik juga bisa mengarah pada budaya apatis, di mana masyarakat cenderung memilih untuk tidak peduli daripada terlibat dalam penyelesaian masalah.
Penting bagi masyarakat untuk mulai mengembangkan keterampilan dalam menghadapi konflik secara sehat dan membangun budaya komunikasi yang lebih terbuka.
Dengan membangun keberanian dalam berkomunikasi, mengembangkan pola pikir problem-solving, serta menanamkan kesadaran akan pentingnya berpikir jangka panjang, masyarakat dapat lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Seperti yang dikatakan oleh Covey, “Begin with the end in mind”, mulailah dengan tujuan akhir dalam pikiran.
Sehingga setiap keputusan yang diambil didasarkan pada pertimbangan jangka panjang, bukan hanya kenyamanan sesaat.
Dengan demikian, fenomena #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar tren di media sosial, tetapi juga cerminan dari pola perilaku masyarakat dalam menghadapi tantangan.
Pemahaman lebih dalam tentang fenomena ini dapat membantu individu untuk mengubah pola pikir dari sekadar menghindar menjadi menghadapi masalah dengan cara yang lebih konstruktif dan solutif.
Apakah #KaburAjaDulu Hanyalah Sekadar FOMO?
Fenomena #KaburAjaDulu sering kali dikaitkan dengan cara masyarakat Indonesia merespons situasi yang sulit atau tidak nyaman.
Dalam beberapa kasus, tagar ini dapat dikaitkan dengan Fear of Missing Out (FOMO), tetapi lebih dekat dengan konsep avoidance coping, yaitu strategi psikologis untuk menghindari stresor daripada menghadapinya secara langsung.
Masyarakat yang mengalami tekanan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, hubungan sosial, atau lingkungan politik, cenderung memilih untuk menghindar daripada berkonfrontasi atau mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.
#KaburAjaDulu dapat merefleksikan ketakutan individu untuk tertinggal dalam pengalaman yang lebih baik.
Media sosial memperkuat dorongan ini dengan menampilkan kehidupan orang lain yang tampak lebih menyenangkan dan bebas dari kesulitan.
Sehingga seseorang yang merasa tidak nyaman dalam suatu situasi akan cenderung mencari jalan keluar cepat demi pengalaman yang lebih memuaskan.
Misalnya, dalam dunia kerja, seseorang mungkin memilih untuk meninggalkan pekerjaannya bukan karena mereka telah mempersiapkan langkah selanjutnya, tetapi karena merasa ada kesempatan lain yang lebih menarik yang tidak boleh dilewatkan. Padahal, kesempatan di tempat lain seharusnya dipahami secara detail agar tidak mengalami kekecewaan.
Misal, jika menganggap bekerja di luar negeri adalah hal yang menjanjikan, maka perlu untuk mengetahui lebih dalam bagaimana gaya dan taraf hidup di negara tersebut.
Bukan hanya itu, budaya kerja juga harus dipahami jika ingin bekerja di luar negeri.
Secara umum, gaya hidup tidak bisa disamakan dengan hidup di Indonesia.
Tentunya perlu penyesuaian yang bisa saja sangat berbeda jauh dengan gaya hidup di Indonesia.
Paling penting adalah menyiapkan diri bekerja di luar negeri, juga telah memahami risiko-risiko yang bisa saja terjadi.
Salah satunya tidak dapat berkumpul dengn keluarga setiap saat. Namun, fenomena #KaburAjaDulu yang ramai digunakan di media sosial tidak selalu mencerminkan pemahaman mendalam dari para penggunanya.
Banyak orang menggunakan tagar ini hanya untuk ikut-ikutan tanpa benar-benar memahami esensi di baliknya.
Di era digital, tren media sosial sering kali berkembang dengan cepat dan banyak individu ikut serta dalam tren tersebut tanpa mempertimbangkan makna atau implikasinya.
Penggunaan tagar ini awalnya berkembang sebagai ekspresi ringan untuk menggambarkan keinginan seseorang untuk menghindari situasi yang tidak nyaman.
Namun, dalam praktiknya, banyak orang menggunakannya dalam berbagai konteks tanpa menyadari bahwa menghindar bukan selalu solusi terbaik.
Sebagian orang mungkin menggunakannya sekadar untuk mengikuti tren tanpa merasakan tekanan nyata dalam kehidupan mereka, sementara yang lain menjadikannya sebagai justifikasi untuk tidak menghadapi masalah.
Hal ini mencerminkan bagaimana budaya digital sering kali mendorong respons instan tanpa refleksi mendalam terhadap makna di balik suatu fenomena.
Hal ini relevan dengan Teori Kultivasi yang dikembangkan oleh George Gerbner.
Teori ini menjelaskan bagaimana paparan media dalam jangka panjang dapat membentuk cara berpikir individu dan persepsi mereka terhadap realitas sosial.
Dalam konteks budaya digital, individu yang terus-menerus terpapar tren media sosial cenderung mengadopsi pola komunikasi yang cepat dan reaktif.
Alih-alih melakukan refleksi kritis, mereka lebih fokus pada mengikuti arus informasi yang berkembang secara instan.
Hal ini membuat budaya media sosial lebih berorientasi pada reaksi spontan dibandingkan pemahaman mendalam terhadap suatu fenomena.
Dalam dunia media sosial, fenomena seperti ini bukanlah hal baru. Masyarakat sering kali terbawa arus viral tanpa memahami latar belakangnya.
Misalnya, banyak orang menggunakan frasa atau tagar tertentu hanya karena sedang populer, bukan karena mereka benar-benar mengalami atau mendukung makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam kasus #KaburAjaDulu, mungkin saja beberapa orang menggunakan untuk menggambarkan pengalaman pribadi dalam menghadapi tekanan hidup.
Tetapi banyak juga yang sekadar menggunakannya sebagai bagian dari humor digital tanpa benar-benar memiliki urgensi untuk “kabur” dari sesuatu.
Sikap ikut-ikutan ini menunjukkan bagaimana budaya media sosial membentuk pola pikir masyarakat dalam menanggapi suatu isu.
Alih-alih memahami konsep di balik sebuah tren, banyak orang hanya melihatnya sebagai sesuatu yang menarik atau menghibur untuk diikuti.
Pada akhirnya, fenomena ini memperlihatkan bagaimana tren digital bisa kehilangan makna aslinya ketika digunakan secara berlebihan tanpa konteks yang jelas.
Hal ini sejalan dengan gagasan Baudrillard tentang simulacra, di mana sesuatu yang awalnya memiliki makna berubah menjadi sekadar simbol kosong karena terlalu sering direproduksi tanpa refleksi kritis.
Fenomena ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat modern semakin terbiasa dengan reaksi cepat tanpa proses berpikir yang lebih mendalam.
Media sosial mendorong perilaku instan di mana pengguna berlomba-lomba untuk mengikuti tren agar tetap relevan dalam percakapan daring, meskipun mereka tidak benar-benar memahami konteksnya.
Dalam jangka panjang, kecenderungan seperti ini dapat membuat individu kurang terbiasa dengan pemikiran kritis dan lebih mudah terpengaruh oleh arus opini yang berkembang tanpa dasar yang kuat.
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar tagar, tetapi juga cerminan dari bagaimana masyarakat merespons tekanan dan ketidaknyamanan dalam hidup mereka.
Namun, jika penggunaannya hanya sekadar ikut-ikutan tanpa memahami makna di baliknya, fenomena ini bisa berubah menjadi sekadar bentuk hype sesaat yang kehilangan relevansinya.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menyikapi tren media sosial dan tidak sekadar mengikuti arus tanpa memahami esensinya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.