Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Preman Anak Penguasa

Belum jelas apa yang memicu konflik ini, tetapi situasi di lapangan menunjukkan eskalasi emosi yang berujung pada kekerasan fisik

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Preman Anak Penguasa
Ist
Fahrul Dason, Ketua Umum BEM FAI 

Oleh: Fahrul Dason

Ketua Umum BEM FAI 

TRIBUN-TIMUR.COM - Sekitar tanggal 14 Januari 2025 Masyarakat media dihebohkan dengan pertempuran, atau tawuran antar ormas di Blora: Antara Pemuda Pancasila vs Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (Grib).

Belum jelas apa yang memicu konflik ini, tetapi situasi di lapangan menunjukkan eskalasi emosi yang berujung pada kekerasan fisik, penghancuran properti, dan tindakan brutal lainnya.

Gerakan yang mengatasnamakan sebagai organisasi masyarakat (ormas) dengan menggunakan seragam loreng-loreng layaknya seperti militer ini sangat sering kita jumpai di Indonesia, beragam rupa dan warnanya.

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan memiliki akar sejarah yang panjang.

Ormas berloreng tidak muncul begitu saja. Mereka semua memiliki sejarah yang lekat dengan dinamika kekuasaan.

Awalnya bermula sejak 1965, ketika Soeharto mengorganisir preman sebagai bagian dari kelompok represi untuk menekan Soekarno dan menciptakan ketakutan di masyarakat.

Dalam buku berjudul “Musim Menjagal” yang ditulis oleh Geoffrey B. Robinson dijelaskan kalau gerakan premanisme ini digunakan untuk meruntuhkan kekuasaan Soekarno.

Sehingga membuat rezim Orde Baru muncul dan berkuasa.

Dari situlah, preman mendapat peran sangat penting dalam politik Orde Baru dan mulai terorganisir, dan mendapat seragam, bahkan diberi fasilitas-fasilitas dan selalu ada dalam gerak negara seperti hubungan simbiosis mutualisme antara negara dan organisasi preman.

Memang preman begitu lekat dengan pemerintahan Orde Baru waktu itu, namun setelah keruntuhan rezim Soeharto tahun 1998.

Sayangnya budaya premanisme tidak ikut lenyap, bahkan makin banyak dan sangat beragam seperti yang hari ini kita lihat.

Preman sebagai Alat Pembasmi Massal

Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, dalam satu tahun, dengan bantuan negara barat, lebih dari satu juta orang “Komunis” dibantai, bahkan cendikiawan sekalipun yang dianggap pernah bercengkrama dengan komunis juga dihabisi.

Operasi ini dilakukan oleh Tentara dengan merekrut paramiliter dan preman untuk digunakan sebagai alat pembunuh massal, sejak saat itu mereka berkuasa dan menindas lawan-lawannya dengan penyiksaan yang sangat keji dan kejam.

Cerita ini dapat kita lihat dalam film dokumenter yang berjudul “Jagal” yang memperlihatkan kita bagaimana para pelaku pembunuhan dengan bangga menceritakan perbuatannya dalam membasmi mereka yang dianggap komunis.

Paramiliter yang terlibat dalam pembantaian PKI salah satunya adalah paramiliter yang dibentuk oleh Jenderal AH Nasution, yaitu: Pemuda Pancasila yang sedang trending topik baru-baru ini akibat tawuran bersama Grib, ormas yang didirikan oleh Hercules, preman Tanah Abang itu.

Freeman atau Preman

Jusuf Kalla dalam pidatonya di acara Pemuda Pancasila pernah menyebut bahwa bangsa ini membutuhkan freeman atau manusia bebas. Supaya bisa menyeimbangi penguasa.

Istilah “preman” berasal dari bahasa Belanda “vrijman,” yang berarti manusia bebas.

Manusia bebas dalam arti freeman yang disebutkan oleh Jusuf Kalla sebenarnya keliru secara pemaknaan. Sebab, jika kita tarik, akar katanya itu memiliki definisi status dalam masyarakat feodal.

Namun, di Inggris freeman diartikan sebagai seorang yang memiliki semua hak istimewa dan kekebalan dari sebuah kota, bahkan dianggap tidak berada di bawah pengekangan hukum.

Sama dengan preman yang ada di Indonesia. Namun, dalam konteks Indonesia, istilah preman justru memiliki konotasi negatif.

Preman sering diasosiasikan dengan kekerasan, pemerasan, dan penindasan terhadap yang lemah.

Masalahnya bukan pada masyarakat yang tidak ingin melawan, tetapi pada kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan ketidakpastian hukum. Inilah yang membuat masyarakat menjadi lemah dan rentan.

Free Will bukanlah Preman

Semua manusia memiliki hak dan kehendak untuk bebas, sebab tidak ada manusia yang suka direbut kebebasannya.

Ketika manusia merasa tertindas dengan perlakuan preman, secara tidak langsung preman telah merebut hak dan kehendak bebas yang lebih lemah.

Kehendak bebas, atau kerap dipahami juga sebagai konsep free will sering disandingkan dengan liberalisme yang berarti kehendak bebas manusia dalam setiap tindakannya.

Namun, bebas dalam konsteks ini juga perlu berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab moral.

Jika manusia bebas diartikan sebagai bebas melakukan apa saja, walaupun itu harus menabrak sebuah nilai dan moral, pada dasarnya itu bukanlah kebebasan, tapi kejahatan.

Kejahatan memang ada di mana-mana, yang terlihat, tidak terlihat, atau tak diperlihatkan. Dan negara memiliki tanggung jawab atas semua kejahatan yang pernah terjadi.

Namun sampai hari ini, kita masih dibuat bingung oleh bangsa kita sendiri. Sulit membedakan antara preman dan pemerintah. Mereka yang menduduki jabatan tinggi, Justru mereka juga yang menindas, dan merampok rakyatnya.

Masyarakat kini harus bangkit melawan para penindas, sebab keadilan hanya bisa didapatkan ketika masyarakat kecil bersatu dan melawan. Sejarah selalu mengatakan demikian, seperti masyarakat dulu, yang mengusir para penjajah.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved