Ngopi Akademik
Uang Palsu dan Pilkada Palsu
Kejadian ini mengguncang dan menambah daftar panjang berita kontroversial yang terjadi di daerah ini.
Oleh: Rahmat Muhammad
Ketua Program Studi S3 Sosiologi UNHAS
TRIBUN-TIMUR.COM - Masyarakat Sulawesi Selatan sedang ramai memperbincangkan penemuan pabrik uang palsu di tengah sebuah kampus yang dikenal sebagai "Kampus Peradaban."
Kejadian ini mengguncang dan menambah daftar panjang berita kontroversial yang terjadi di daerah ini.
Di warkop-warkop, topik "uang palsu" bukan hanya sebatas perbincangan tentang aspek hukum dan keamanannya, tetapi lebih jauh lagi, dihubungkan dengan politik.
Warkop, sebagai tempat berkumpulnya berbagai kalangan masyarakat, dari mahasiswa hingga aktivis sosial, kerap menjadi ruang diskusi informal yang mengangkat isu-isu terhangat.
Penemuan pabrik uang palsu ini segera menjadi simbol ketidakpercayaan yang semakin menanjak terhadap segala sesuatu yang terjadi di negeri ini, terutama dalam konteks pilkada.
Bagaimana tidak, bagi sebagian besar masyarakat, uang palsu ini menggambarkan ketidakotentikan, sebuah kepalsuan yang dikaitkan dengan isu-isu politik.
Seolah ada pergeseran narasi dari "uang palsu" ke "pilkada palsu" di tengah obrolan masyarakat.
Pilkada serentak yang baru saja usai justru menjadi sorotan lebih tajam di tengah kasus ini.
Distrust atau ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi terus meningkat.
Masyarakat yang skeptis mulai mempertanyakan keabsahannya, terutama terkait integritas, transparansi, dan kesungguhan mereka dalam membangun daerah. Beberapa bahkan menyindir bahwa pilkada ini tidak lebih dari "pesta demokrasi yang palsu."
Fenomena distrust ini mencerminkan bagaimana masyarakat melihat hubungan antara kepercayaan (trust) dan otentisitas pemilu.
Jika uang yang notabene menjadi alat transaksi paling mendasar dalam ekonomi saja bisa dipalsukan, bagaimana dengan suara rakyat dalam pemilu?
Apakah bisa dipercaya bahwa suara mereka benar-benar dihargai dan tidak 'dipalsukan' dengan cara-cara licik seperti politik uang, manipulasi suara, atau pengaruh kekuasaan?
Dalam pandangan pesimis, sebagian masyarakat mulai mencurigai bahwa hasil pilkada pun mungkin saja sudah 'ditentukan' atau 'diatur' sedari awal.
Ironisnya, uang palsu yang ditemukan ini memberi bahan bakar baru bagi teori-teori konspirasi yang berkembang.
Ada kalangan yang mengaitkan hal ini dengan politik uang dalam pilkada, seolah-olah menjadi gambaran bagaimana kekuasaan dibeli. Apakah kasus ini menjadi simbol dari politik yang kotor dan tidak jujur?
Masyarakat Sulawesi Selatan, yang notabene sangat peduli terhadap nilai-nilai kejujuran dan transparansi, tentu merasa geram jika demokrasi mereka dirusak oleh praktik-praktik yang tidak bermoral.
Di warkop-warkop, ada yang menyindir dengan tawa penuh satire: "Kalau uang saja bisa palsu, kenapa pilkadanya tidak?"
Pernyataan ini mungkin terdengar lucu, tapi di balik tawa itu, ada kegetiran yang dalam.
Ada perasaan bahwa apa yang mereka lihat dan baca berita atau media sosial tentang calon-calon kepala daerah hanyalah tampilan permukaan. Banyak yang merasa bahwa di balik pencitraan kampanye, ada realitas yang jauh lebih suram.
Bahkan, muncul ungkapan: "Yang asli cuma janji, hasilnya selalu palsu." Ini menggambarkan bagaimana harapan masyarakat terhadap perubahan sering kali pupus oleh kenyataan yang tidak seindah janji kampanye.
Lebih jauh, distrust ini juga mengancam legitimasi hasil pilkada itu sendiri.
Ketika masyarakat merasa bahwa sistemnya sudah 'rusak' atau 'dicurangi', maka kepercayaan terhadap siapa pun yang terpilih akan sangat minim. Hasil pilkada, jika tidak dikelola dengan baik, bisa saja dicap sebagai "pilkada palsu."
Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan proses demokrasi. Demokrasi tanpa kepercayaan adalah demokrasi yang rapuh, yang mudah digoyahkan oleh isu-isu dan spekulasi.
Skandal uang palsu ini pun seakan menjadi katalis yang mempercepat keretakan kepercayaan masyarakat.
Di tengah obrolan ringan di warkop, semakin banyak orang yang mempertanyakan, apakah pilkada ini hanya sebuah formalitas yang diwarnai oleh kepalsuan di setiap lapisannya?
Kepalsuan janji, kepalsuan dukungan, bahkan kepalsuan dalam suara rakyat?
Jika demikian, apakah kita benar-benar sedang menjalani proses demokrasi yang otentik, atau sekadar menjalani ritus demokrasi yang telah kehilangan jiwanya?
Penemuan pabrik uang palsu di kampus yang disebut "Kampus Peradaban" justru menjadi ironi besar bagi masyarakat.
Bagaimana sebuah tempat yang seharusnya menjadi pusat pencerahan dan pendidikan justru terlibat dalam skandal yang demikian memalukan?
Mungkin, ini adalah simbol dari krisis kepercayaan yang lebih luas terhadap institusi-institusi yang seharusnya menjaga moralitas dan integritas masyarakat.
Fenomena uang palsu ini menjadi pengingat bahwa masyarakat membutuhkan keaslian—baik itu dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik.
Masyarakat Sulawesi Selatan, seperti halnya di banyak tempat lainnya, membutuhkan pemimpin yang asli, pemimpin yang bukan sekadar tampilan 'palsu' yang didukung oleh uang kotor atau janji kosong.
Jika tidak, maka pilkada 2024 bisa saja dicap oleh masyarakat sebagai "pilkada palsu"—bukan karena hasilnya tidak sah secara hukum, tetapi karena kepercayaan masyarakat terhadap prosesnya telah hilang.
Dan di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana memulihkan kepercayaan tersebut benar-benar menjadi ajang politik yang kehilangan maknanya?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.