Opini
Merubah Sistem Menggerus Kebebasan
Pilkada (tepatnya pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota), kembali menarik untuk dibincangkan.
Hampir setiap hari bahkan setiap menit kita mengkonsumsi informasi dari manapun dan siapapun. Sadar atau tidak kita mengenal dan mengadopsi budaya dan kebiasaan baru.
Dan harus diakui perkembangan informasi disatu sisi sangat besar pengaruhnya, bahkan dapat berimplikasi pada terkikisnya empati sosial.
Membuat sebagian dari kita cenderung abai terhadap norma dan kearifan lokal yang turun temurun dipraktekkan oleh leluhur kita.
Bisa jadi, inilah yang mendasari sebagian pemilih, sehingga tanpa berfikir panjang, mengambil imbalan yang diberikan kontestan.
Memanfaatkan cara yang singkat untuk mendapatkan keuntungan.
Sementara, ada sebagian pemilih "dipaksa" untuk menjadi ketergantungan dengan berbagai macam bantuan, yang sifatnya cuma-cuma.
Banyak program pemerintah yang bersifat langsung, berupa bantuan uang tunai atau barang kebutuhan sehari-hari, sehingga semakin melanggengkan situasi tersebut.
Akhirnya memberikan peluang bagi sebagian kontestan yang melihat perilaku ketergantungan tersebut sebagai pintu masuk.
Terjadinya praktek vote buying, jual beli suara, politik transaksional, money politik, intervensi dan tekanan, mungkin salah satunya karena efek dari sifat ketergantungan ini.
Perilaku yang timbul karena perspektif ini tentu saja sangat merugikan, terutama bagi kontestan yang harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk mempengaruhi pemilih. Bagaimana dengan kontestan yang memiliki modal pas-pasan, atau bahkan tidak memiliki modal?
Bisa jadi akan berfikir dua tiga kali untuk melanjutkan langkahnya. Atau tetap maju menjadi calon atau pasangan calon, namun dengan cara menggandeng pihak tertentu yang memiliki modal.
Pertanyaannya, tidak adakah kontestan yang menerapkan model pertama, bermodalkan kepercayaan publik, bermodalkan pengalaman, bermodalkan program kerja dan visi misi yang rasional sehingga mampu meyakinkan pemilih.
Atau melakukan gerakan penyadaran kepada pemilih, dan kemudian terpilih. Seratus persen, Saya meyakini ada. Di beberapa tempat walaupun skalanya berbeda dari pemilihan bupati atau wali kota dan bahkan gubernur, keterpilihan pemimpin justru karena harapan dan dorongan dari warga pemilih sendiri. Sehingga seorang calon maju dan kemudian terpilih.
Artinya, dari sekian persen pemilih yang masih ketergantungan terhadap imbalan atas jasanya menyalurkan hak pilihnya.
Angka pemilih dan masyarakat yang dengan kesadarannya datang ke TPS, menginginkan keterpilihan pemimpin yang di idam-idamkan tanpa memerlukan imbalan, jauh lebih besar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.