Opini
Merubah Sistem Menggerus Kebebasan
Pilkada (tepatnya pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota), kembali menarik untuk dibincangkan.
Setiap orang yang masuk kategori pemilih memiliki kemerdekaan dan kemandirian untuk menentukan pilihannya.
Hal inilah yang kemudian mendorong kontestan dalam hal ini calon atau pasangan calon, untuk berkreasi menemukan cara yang tepat untuk mendekati pemilih.
Model pendekatannya pun berlangsung dengan sangat variatif.
Ada yang melakukannya dengan model penyadaran, mengajak pemilih peduli dengan pilkada, dengan terlebih dahulu meningkatkan kemauan dan kesadaran akan pentingnya pilkada dan pentingnya memilih pemimpin yang diharapkan.
Ada juga yang melakukan dengan pendekatan praktis, dengan waktu yang singkat, tanpa memperdulikan kesadaran pemilih.
Melakukan kegiatan yang sifatnya instan namun tujuannya sama, yaitu mengajak pemilih mendukung kontestan tertentu.
Dan tidak menutup kemungkinan ada kontestan yang menggabungkan kedua model tersebut.
Dalam perkembangannya, dari model pendekatan tersebut, sepertinya pendekatan praktis lebih dominan dan cenderung dilakukan oleh kontestan.
Mungkin karena memiliki modal materi yang cukup. Atau karena memiliki modal sosial yang besar, sehingga elektabilitas tinggi.
Atau karena pemahaman bahwa, untuk menyadarkan pemilih membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Namun faktanya, tidak sedikit masyarakat dan pemilih yang terlanjur menyukai yang instan-instan. Bahkan biasanya tidak mempedulikan efeknya.
Selama dapat segera dinikmati maka akan diterima.
Penelitian dan survei KPU Provinsi Sulawesi Selatan di pilkada empat tahun silam, yaitu pilkada tahun 2020 dapat menjadi data pembanding.
Misalnya data untuk kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) saja, ada lebih dari 29 persen warga pemilih yang setuju terhadap imbalan langsung dari kontestan.
Sementara di sisi lain, konsep dan cara pandang pemilih kian bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.