Opini
Konstruksi Agama dan Nasib Kelompok Minoritas
Label “sesat” yang disematkan kepada mereka mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama dan kekuasaan.
Nasib Kelompok Minoritas
Melihat dinamika dan nasib kelompok minoritas di Indonesia yang terus mengalami diskriminasi dan persekusi, MUI perlu melakukan penilaian ulang mengenai parameter
“sesat” di tengah keragaman kebudayaan di Indonesia.
Apakah kriteria tersebut mencerminkan kelompok minoritas yang berbeda dengan organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama?
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa Fatwa MUI disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan dampak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Pembakaran dan perusakan merupakan perilaku yang melanggar nilai-nilai Islam.
Penulis juga percaya bahwa tidak ada regulasi yang mendukung praktik pengadilan jalanan ataupun penghakiman massal serta perusakan fasilitas kelompok- kelompok tertentu hanya karena kelompok tersebut dianggap sesat.
Hal tersebut merupakan bentuk penodaan agama dan bentuk provokasi yang bertentangan dengan pasal 156a dan 157 KHUP.
Dalam konteks ini, Wilfred Cantwell Smith (1963) seorang sejarawan asal Toronto, Kanada dalam bukunya “The Meaning and End of Religion” mengatakan bahwa penting
untuk memahami perbedaan antara agama, yang sering dipandang sebagai kategori kaku, dan agama, yang mencerminkan pengalaman keagamaan yang lebih luas.
Ahmadiyah mewakili bentuk religiusitas yang kaya dan beragam, namun mereka menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan dan legitimasi.
Dengan demikian, perjalanan komunitas ini menunjukkan betapa pentingnya menggali dan mengapresiasi keberagaman praktik keagamaan serta berupaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika ini, kita perlu menghargai dan menghormati identitas yang dimiliki oleh setiap komunitas serta memperjuangkan hak
mereka untuk diakui dan dihargai dalam konteks yang lebih luas.
Ini bukan hanya tentang kepercayaan yang mereka anut, tetapi juga tentang pengakuan atas perjalanan mereka dalam mempertahankan identitas di tengah tantangan yang ada.
Melalui perjuangan ini, kita diingatkan akan pentingnya menghargai keberagaman dan memperjuangkan inklusivitas dalam masyarakat.
Oleh karena itu, kita perlu mendefinisikan kembali “agama” dan “kategorisasinya” dalam konteks pluralitas kebudayan Indonesia, sehingga pemerintah dapat mengakomodasi hak-hak mereka sebagai warga negara yang setara dan kerkeadilan. Wallahu A’lam Bishawab
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.