Opini
Konstruksi Agama dan Nasib Kelompok Minoritas
Label “sesat” yang disematkan kepada mereka mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama dan kekuasaan.
Pemerintah mengeluarkan imbauan agar kelompok Ahmadiyah tidak penyelenggaraan pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia dengan alasan kondusifitas daerah.
Tentu ini merupakan bentuk dari represi atas kemerdekaan di mana warga memiliki hak untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing yang dilindungi oleh konstitusi.
Lantas mengapa kasus intoleransi masih kerap terjadi? Apakah ada yang salah dari cara kita memahami agama dan kemudian kemudian memberikan standar sebuah agama dinyatakan layak atau tidak?
Kolonialisme dan Kategorisasi Agama
Fenomena beragama yang terjadi di Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh sejarah dan politik di Indonesia.
Talal Asad (1993) seorang antropolog beraliran post-strukturalis yang menulis buku “Genealogies of religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam” mengajak kita untuk memahami agama sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh konteks historis dan politik.
Dalam hal ini, ada upaya kategorisasi dalam menentukan definisi agama yang menentukan sah tidaknya sebuah agama.
Kategorisasi ini yang mengakibatkan kelompok Ahmadiyah dianggap tidak sah dalam praktik keagamaan.
Menurut Asad (1993) pengertian agama yang dipaksakan sering kali mengabaikan keragaman praktik lokal serta melanggengkan struktur sosial yang mengutamakan kelompok tertentu.
Kategorisasi agama tidak bisa lepas deri pengaruh kolonialisme yang masih melekat dalam struktur beragama kita. David Chidester (2014) dalam bukunya “Empire of Religion”
melihat konsep “agama” sebagai hasil kontruksi dari kolonial eropa.
Chidester menunjukkan agama didefinisikan, dikategorikan, dan dimanfaatkan oleh kekuatan kolonial sebagai alat untuk mengendalikan dan memahami wilayah jajahan mereka. Paradigma ini tentunya mengandung kepentingan ideologis, politik, dan ekonomis yang mencerminkan pandangan dunia Barat.
Chider (2014) menambahkan bahwa kategorisasi ini dimanfaatkan untuk melanggengkan hegomoni dan kontrol atas masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan sangat dinamis, yang menekankan definisi agama sebagai alat kontrol yang membentuk perilaku dan identitas
individu.
Dalam konteks Ahmadiyah, ketegangan muncul ketika praktik mereka bertentangan dengan doktrin resmi yang diakui oleh masyarakat luas, yang berakar pada warisan kolonial
yang terus diadopsi oleh pemerintah.
Kelompok yang diuntungkan dalam kondisi ini adalah mereka yang berasal dari kelompok mayoritas dan kemudian mengabaikan hak-hak dari kelompok minoritas yang secara konstitusi memiliki hak yang sama dengan yang lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.