Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ini Serangan Fajarku

Amplop berisi ini betul-betul memiliki kuasa untuk menentukan sikap pemilih.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok Penerbit Subaltern
Direktur Penerbit Subaltern, Supratman Yusbi Yusuf 

Oleh: Supratman Yusbi Yusuf

Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Budaya Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM-Tongkrongan malam ini memiliki pembahasan yang nyaris sama; “adakah serangan fajar?” Tiga kata yang sangat hegemonik, terlebih hal itu ditanyakan kepada tim sukses yang ingin menikmati masa tenang di warung kopi.

Masa-masa berharga hilang seketika, bibirnya nyengar nyegir, berusaha tenang, tapi batinnya bergejolak.

Sudah menjadi hal lumrah dan menjadi konsumsi publik jika malam sebelum pencoblosan, calon pemilih menunggu dan membicarakan uang yang akan diberikan oleh calon.

Ada yang membahasnya sambil bercanda, ada pula yang memang betul-betul menunggu dan berharap. 

Amplop berisi ini betul-betul memiliki kuasa untuk menentukan sikap pemilih.

Semakin banyak jumlah serangan dan isiannya, maka semakin besar potensi merebut suara publik. Hitungannya oposisi biner dengan target suara yang diinginkan. Pengamat amatiran di warung kopi pun kerap menghitungnya, jika anda butuh suara sekian, maka kalikan saja dengan sekian rupiah, itulah yang anda butuhkan untuk menang. Sehingga, calon tanpa serangan fajar dianggap sebagai calon yang tak siap menang. Hanya calon yang putus asa dan jual cerita.  

Saat Gramsci ‘Putus Asa’

Karl Max memimpikan dengan adanya perlawan dan kesadaran kelas pekerja dalam ekonomi, besar kemungkinan akan berhasil mengalahkan kelas pemodal (pemilik alat produksi). Nyatanya, perlawanan kelas ini tidak membuahkan hasil yang begitu signifikan. Kaya semakin kaya, yang pekerja juga masih tetap menjadi pekerja. Gramsci ‘putus asa’ melihat fenomena ini; resistensi buruh di Inggris yang kemudian dikendalikan Margaret Thatcher. Menurutnya, pengendalian yang dilakukan ini bukan hanya represi kekuasaan melainkan pembagian kuasa. Nilai tawar posisi; Hegemoni.  

Dari situ, dia menilai ekonomi tidak bisa lagi dijadikan sebagai isu “perlawanan kolosal”, kita mesti melawan dengan “cara cantik” dan memiliki strategi untuk merebut kuasa. Bahwa kekuasaan itu dipergilirkan, dan kelas-kelas sosial Masyarakat harus mulai merebut kekuasaan itu, maka dibutuhkan intelektual organik.

Intelektual organik yang memahami ideologi dan mampu menggerakkan massa harus terus bergerak dan berjuang merebut posisi. Untuk sampai ke posisi puncak, segala potensi yang dapat menguntungkan mesti di pertaruhkan, segala struktur (bukan hanya ekonomi) merupakan alat perjuangan; budaya, media, wacana, ideologi, menjadi alat tukar. Jika kelompok dihegemoni, maka intelektual organik harus memikirkan cara untuk melakukan kontra hegemonik.

Intelektual-intelektual inilah yang dipertaruhkan dapat merebut kekuasan itu, agar kelasnya dapat lebih berkuasa atau minimal mendapat posisi tawar di kelas penguasa. Karena kekuasaan yang dipergilirkan, “kelas bawah” yang mendapatkan kekuasaan harus tetap mempertahankan posisinya, di sisi lain “kelas bawah” lainnya terus bergerak untuk mencapai puncak. Saling menghegemoni dan saling pegang kartu as.

Putus Asa Jilid Dua

Intelektual organik sepertinya telah menduduki puncak kekuasaan atau telah akrab dengan kekuasaan. Mereka melenggang dari bawah, membangun kepercayaan publik, dan menempati posisi-posisi strategis yang diinginkan. Beberapa diantaranya mempertahankan, beberapa lainnya dilengserkan, dan lainnya sementara merebut.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved