Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Sebuah Refleksi Nilai Perempuan dalam Adat

Praktik patriarki dalam tradisi konservatif mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari yang membersamai saya.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Sebuah Refleksi Nilai Perempuan dalam Adat
IST
Zulfikarni Bakri, CRCS UGM

Konsekuensi perempuan yang melanggar hukum adat Kajang di atas memiliki tingkatan sesuai beratnya pelanggaran tersebut.

Pertama, hamil di luar nikah atau melakukan tindak asusila, uang panaik perempuan lebih sedikit. Kedua adalah silariang.

Pelanggaran adat ini akan mendapatkan hukum berupa pengusiran. Adapun negosiasi terhadap tindakan silariang melibatkan pihak keluarga dan pemangku adat.

Pelaku silariang akan melakukan ritual abbaji’ (memperbaiki) dengan syarat pihak perempuan menerima dan memaafkan tindakan tersebut, lalu dinikahkan.

Sebaliknya, jika pihak perempuan tidak menerima, maka pengusiran pun terjadi.

Merujuk isu di atas–standarisasi sifat perempuan, menjaga nama baik keluarga, dan hukum adat– klaim tersebut untuk memperkuat, menjaga, dan menghormati perempuan.

Apakah demikian adanya? Mengapa hanya perempuan yang membawa tanggung jawab tersebut?

Adanya beban moral yang diemban perempuan, kemudian membuat saya bertanya untuk kepentingan siapa pemenuhan
standar tersebut diberlakukan.

Secara konteks masih banyak perempuan yang belum mendapatkan kebebasan berekspresi dan menentukan masa depan mereka dengan alasan kehormatan keluarga dan gender.

Selain itu, standarisasi kemudian menjadi dilematik dan mendorong perempuan untuk memenuhi kategori-kategori sesuai yang digambarkan dalam kehidupan sosial.

Dampaknya, bagi perempuan yang belum memenuhi hal tersebut akan mendapatkan diskriminasi yang berlapis.

Melampaui Domestik

Membicarakan isu perempuan dalam masyarakat adat pada dasarnya sangat rumit dan kompleks. Biasanya konsep gender di adat sudah matang namun pengaruh eksternal kemudian mengubah perpektif kita.

Misalnya pembagian kerja dalam masyarakat adat Kajang berdasarkan gender. Laki-laki mengambil peran pada ruang
publik dan kerja yang membutuhkan tenaga fisik, seperti bertani.

Di sisi lain perempuan aktif pada ruang domestik. Kritik pada fenomena ini yakni pemisahan ruang kerja yang tersistematis dan terinstitusional sejak masa kolonial.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved