Klakson
Kampanye
Bila kreditor telat membayar utangnya, maka sanksipun menunggunya dan hukumlah mengikat sanksi itu.
Oleh; Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel / Majelis Demokrasi & Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Sampai kapan kampanye menjadi ritual kebohongan?
Sampai kapan kampnye mengkhianati kuping-kuping kita?
Kapan saatnya kampanye hijrah menjadi moment kesepakatan serius seperti halnya akad kredit antara bank dan penduduk yang menarik kredit bank—rakyat selaku banknya dan kontestan sebagai kreditornya?
Bila kreditor telat membayar utangnya, maka sanksipun menunggunya dan hukumlah mengikat sanksi itu.
Bila politik memang untuk membangun kesejahteraan warga, maka kampanye pilkada harus diubah menjadi komitmen hukum antara kontestan dan warga.
Sebab selama ini, pengaturan ketentuan kampanye hanya sebatas pada prosedurnya semata.
Sementara, pengkhianatan isi kampanye oleh pemenang esok hari tak pernah berdampak hukum.
Padahal, prosedur kampanye diatur hukum. Harusnya pengkhianatan isi kampanye dituntut oleh hukum pula seperti halnya proyek mangrkak. Atau seperti halnya kreditor yang menunggak cicilannya.
Mengapa? Sebab kita jenuh dengan ritual yang melelahkan tanpa hasil konkrit itu.
Kita letih sebab kampanye hanyalah susunan kalimat yang menggema yang sesungguhnya tak pernah berwujud.
Kita terus-menerus bingung sebab kampanye terdengar, namun tak kunjung menampak. Susunan kata-kata tak berwujud, mengingatkan kita akan sandiwara radio diera 1980-an silam.
Ratusan orang dikumpulkan untuk menyimak pidato penuh harapan itu.
Orang-orang menghentikan atau dihentikan aktifitasnya untuk menyimak pidato kampanye.
Didepan para hadirin, kontestan dan juru kampanye berpidato seraya menjanjikan. Hadirin tak faham seutuhnya apa sebenarnya isi pidato yang dikampanyekan itu.
Kita simak, kampanye telah menyebarkan harapan, janji, dan tekad baik. Tetapi rakyat seringkali gagal yakin akan semua itu.
Sebab keyakinan tak pernah terbit dari ceracau berbusa. Keyakinanpun tak seutuhnya terbit dengan pemicu argumentasi berapi-api.
Kita selalu yakin dengan bukti masa lalu. Kita yakin pada sejumlah pemikir abad klasik hingga masa modern sebab ada bukti karya yang ditorehkan.
Kita yakin akan kebaikan seseorang lantaran moral tang baik telah dipraktekkannya.
Bahkan, barangkali kita yakin akan agama sebab ada kitab suci sebagai bukti petunjukNYA. Artinya, keyakinan tak pernah tumbuh dari ruang gersang tak berbekas.
Dengan itu, keyakinan sesungguhnya tak berpaut dengan hari ini, atau esok. Tetapi keyakinan tumbuh karena hari kemarin yang berbekas.
Keyakinan dengan demikian tak berkait dengan masa akan datang, tetapi ia seringkali tumbuh karena pengalaman masa silam.
Persoalannya, adakah bakas hasil kampanye masa lampau yang menancap disanubari warga saat ini? Inilah persoalan yang tak dapat dipertaruhkan hingga rakyat begitu susah yakin dan percaya terhadap kampanye politik kita.
Tetapi aktor politik kita tak pernah risau dengan itu semua. Mereka terus menerus berkampanye hingga tenggorokan mereka kering kerontang.
Yang mereka fikirkan kampanye sebagai prosedur haruslah mampu menghegemony warga untuk memilih kontestannya.
Mereka optimis bahwa kampanye yang penuh kerumunan akan menghasilkan suara signifikan. Instrumen untuk memastikan itu, seringkali berbentuk penyuapan dilapis warga.
Praktik itu sesungguhnya menegaskan bahwa dibalik kampanye ada hasrat kekuasaan tahta yang wajib diraih.
Dan nafsu tahta kekuasaan seringnya berwujud keserakahan. Maka politik kita tak pernah benar-benar ampuh menghentikan keserakahan.
Kita tahu keserakahan tak pernah menyelamatkan demokrasi. Ia justeru mala bagi demokrasi.
Kita faham, keserakahan tak pernah menggemukkan orang banyak. Keserakahan justeru menghasilkan kemelaratan kerempeng orang-orang yang diperintah.
Keserakahan tak pernah meniupkan angin segar pada warga, tetapi selalunya menghisap warga.
Dengan model kampanye seperti itu, apa sebenarnya makna demokrasi dalam pilkada?
Tentulah pilkada tak lebih sebagai sebuah mekanisme yang menghantar seseorang ke sebuah takhta menggunakan dukungan orang banyak dengan prakondisi dukungan yang disebut kampanye.
Pada akhirnya kampanye politik adalah lidah, adalah telinga, adalah mata. Bukan tentang hati yang berbohong.
Kampanye hanyalah kata, hanyalah gambar yang diedit, hanyalah ujaran yang ditata agar semua percaya, dan selebihnya seringkali cemooh atau optimisme yang suram.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.