Opini
Dari Toleransi hingga Kebijakan Keagamaan yang Bossy dan Eggak Asik
Penolakan ini juga disampaikan oleh DPRD Pare-Pare setelah rapat dengar pendapat bersama masyarakat.
Oleh: Muhammad Musmulyadi
Yayasan Antropos Indonesia/Alumnus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
TRIBUN-TIMUR.COM - ADA seorang kiai selalu memakai sarung dan tak terbiasa memakai celana.
Dalam acara formal maupun nonformal konsisten selalu memakai sarung. Lalu suatu hari Sang Kiai diundang mengisi kuliah umum soal keberagaman dan toleransi di kampus.
Lalu Kiai tersebut meminta tolong kepada anaknya untuk meminjam celana. Anaknya terheran, tidak biasanya Sang Kiai memamakai celana. Lalu celana telah dipinjamkan.
Kini tinggal Sepatu, Kiai tersebut lupa bahwa dia tidak punya sepatu. Lalu meminjam lagi sepatu anaknya.
Meski biasanya hanya sarungan, kali ini Sang Kiai memakai celana dan sepatu. Kiai menganggap bahwa kuliah harus memakai pakain resmi. Menyesuaikan dengan acara.
Sesampainya di kampus Sang Kiai tekejut melihat penampilan Pak Rektor dan semua orang yang memakai sarung dan sandal selop.
Hal sebaliknya pun begitu, Pak Rektor dan semua orang tekejut melihat Sang Kiai memakai celana dan sepatu.
Sang Kiai terkekeh, Pak Rektor tertawa, sebab kedua pihak berusaha untuk menyesuaikan diri. Pada akhirnya Sang Kiai berkata bahwa tidak ada lagi yang bisa disampaiakan dalam kuliah umum.
Soalnya, untuk apalagi membicarakan toleransi dan keberagaman kepada orang-orang yang sudah mengerti bahkan dalam praktik kecil seperti cerita sarung dan celana panjang
Cerita ini dituliskan oleh Ahmad Khadafi dalam salah satu esainya di buku Islam Kita Nggak ke Mana-Mana Kok Disuruh Kembali (2019), esai ini berdasarkan kisah dari KH. Ahmad Mustofa Bisri dengan Dr. KH. Abdul Ghofur Maemoen.
Cerita di atas mengingatkan penulis kepada beberapa peristiwa belakang ini yang menuai kontroversi tentang toleransi dan
keberagaman.
Potret Intoleransi
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.