Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

 Doom Spending

 Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi mereka, yang sering kali mencari pelarian melalui perilaku belanja yang tidak terkontrol.

Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
Pengamat Ekonomi Unhas Anas Iswanto Anwar. 

Anas Iswanto Anwar Makatutu
Dosen FEB-UNHAS

 

 

TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak dan maraknya pengaruh media sosial, banyak anak muda yang terjebak dalam siklus konsumsi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap keuangan pribadi. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka pada 2023 mencapai 5,86 persen dengan sebagian besar penganggur berasal dari kelompok usia muda.

 Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi mereka, yang sering kali mencari pelarian melalui perilaku belanja yang tidak terkontrol.

Generasi Z, sering disingkat menjadi Gen Z dan dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai Zoomers, adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 serta Generasi Y, juga dikenal sebagai Generasi Milenial atau Generasi Langgas adalah kelompok demografi yang lahir pada tahun 1981 hingga 1996 diprediksi akan terjebak dalam fenomena yang disebut sebagai doom spending.

Tren yang sedang terjadi di kalangan anak muda tersebut diperkirakan menjadi pemicu masalah ekonomi dan keuangan. 

Doom spending merupakan perilaku belanja impulsif yang terjadi sebagai reaksi terhadap stres atau perasaan tidak berdaya, sering kali dipicu oleh berita buruk atau suasana hati yang negatif. 

Orang yang terjebak dalam doom spending cenderung membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan atau inginkan, sebagai cara untuk merasa lebih baik secara emosional, meskipun dampaknya dapat membebani keuangan mereka.

Fenomena ini sering kali terjadi bersamaan dengan doomscrolling, di mana seseorang terus menerus membaca berita negatif di media sosial atau situs berita, yang kemudian memperburuk perasaan pesimis tentang masa depan.

Gen Z dan Gen Y sangat rentan mengalami fenomena doom spending karena tantangan ekonomi yang semakin berat dan pergeseran budaya di mana dokumentasi di media sosial lebih penting dibandingkan menabung. 

Namun, menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak penting tersebut akan menyebabkan beberapa efek negatif, yaitu: Penumpukan Utang, Pengeluaran impulsif yang sering dilakukan dapat dengan cepat menambah utang dan tekanan finansial.

Suku bunga yang tinggi juga dapat memperburuk kondisi keuangan.

Akibatnya, seseorang kemungkinan besar akan terjerat siklus “gali lubang, tutup lubang” untuk mengatasi masalah utang yang terus menumpuk dan berimbas pada kebangkrutan; Merusak tujuan keuangan, uang yang dibelanjakan untuk barang-barang tidak penting dapat menunda atau menggagalkan tujuan keuangan. 

Akibat fenomena doom spending ini, akan mengakibatkan impian gen Z dan milenial untuk membeli rumah, menabung demi masa pensiun, atau menyimpan dana darurat akan semakin sukar dilakukan.

Sistim dan metode pembayaran saat ini dalam bertransaksi akibat modernisasi dan perkembangan teknologi sangat memudahkan calon pembeli membagi uang mereka. Hanya dengan cara mengklik di laptop atau dengan melambaikan ponsel, maka transaksi selesai dan akhirnya membuat konsumen merasa seperti tidak mengeluarkan uang.

Media sosial juga dapat membuat seseorang merasa perlu mengikuti perkembangan keluarga atau orang lain. Berkonsumsi dan berbelanja ingin dengan cara yang sama seperti yang dilihat dan dilakukan orang lain. 

Kondisi keuangan bisa jadi berbeda dengan orang lain atau para influencer yang mungkin memiliki sumber pendapatan lain atau berhutang untuk mendanai gaya hidup mereka.

Meskipun tetap mengikuti perkembangan terkini itu penting, membaca dan menonton terlalu banyak konten dengan topik berat dapat memperkuat persepsi bahwa tidak ada alasan untuk membuat rencana di masa depan. 

Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk menekan perilaku doom spending, antara lain: Cobalah untuk menetapkan tujuan jangka panjang terkait dengan keuangan. Kekhawatiran akan masa depan yang kerap muncul merupakan hal yang wajar terjadi, cobalah untuk mengingat kembali tujuan jangka panjang terkait keuangan yang harus dicapai. Hal tersebut akan membantu dalam menentukan keputusan terkait pengeluaran lain yang bisa memberikan manfaat lebih.

Tidak hanya itu saja, dengan berfokus pada keuangan jangan panjang, diharapkan mampu menyisihkan anggaran yang dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat; Perilaku doom spending juga sering kali berkaitan dengan emosi yang dimiliki oleh seseorang.

Sebaliknya bukannya dari pada mengikuti dorongan untuk berbelanja demi memenuhi kebutuhan emosional, cobalah untuk mengelola emosi dengan baik, atau berkonsultasi kepada tenaga profesional untuk mengetahui cara mengelola emosi dengan baik. 

Dengan demikian dapat membantu seseorang untuk mengatasi rasa ketakutan yang sering kali muncul akibat hal-hal yang tidak pasti di sekitarnya.

Anggapan bahwa belanja untuk mengatasi stres saat ini hanya akan membuat stres di masa depan semakin besar. Meskipun mungkin sulit untuk menabung 10 persen atau 15?ri penghasilan untuk pensiun, menyisihkan sedikit saja lebih baik daripada tidak menabung sama sekali. Bahkan investasi kecil bisa tumbuh menjadi tabungan besar seiring waktu.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved