Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kuota 30 Persen Perempuan Hanya Manis di Regulasi

Kuota 30 persen perempuan dalam politik Indonesia belum menjamin ruang bicara yang setara. Kehadiran mereka kerap hanya jadi angka.

Endang Sari/Tribun Timur
PENULIS OPINI - Endang Sari. Ia mengirim foto pribadinya di tribun-timur.com untuk melengkapi tulisan berjudul Kuota 30 Persen Perempuan Hanya Manis di Regulasi. Endang Sari merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas 

Kuota 30 Persen Perempuan Hanya Manis di Regulasi

Oleh: Endang Sari

Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Saya terpikir pada pertanyaan mendasar yang pernah diajukan Gayatri Chakravorty Spivak, seorang filsuf sekaligus pemikir feminis asal India yang lahir pada tahun 1942 di Calcutta, British India, dalam esainya yang terkenal, Can the Subaltern Speak? “Bisakah yang tertindas berbicara?”.

Dalam tulisan itu, Spivak mempertanyakan apakah kelompok tertindas benar-benar bisa menyuarakan dirinya sendiri dalam sistem yang dibentuk oleh kekuasaan kolonial dan patriarki.

Spivak berargumen bahwa bahkan ketika subaltern berbicara, suara mereka sering disaring, diinterpretasikan, atau bahkan diabaikan oleh struktur dominan.

Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan gugatan terhadap struktur kekuasaan yang membungkam suara-suara dari pinggiran.

Dalam konteks politik Indonesia, sayangnya, perempuan juga masih menjadi “subaltern” itu: hadir dalam angka, namun tidak dalam makna.

Legal Candidate Quotas pada pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memng telah mengatur bahwa salah satu syarat untuk menjadi peserta pemilu adalah dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan di daftar bakal calon legislatif, begitu pula di pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik diatur bahwa dalam kepengurusan Partai Politik di tingkat pusat, harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Artinya, partai politik diwajibkan untuk menyertakan minimal 30 persen perempuan dalam struktur kepengurusan di tingkat pusat.

Ketentuan ini merupakan bagian dari upaya afirmatif untuk mendorong partisipasi perempuan dalam politik, tidak hanya sebagai calon legislatif tetapi juga dalam pengambilan keputusan internal partai.

Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ideal.

Banyak partai yang hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap syarat administratif.

Mereka dicantumkan dalam daftar caleg, namun ditempatkan di nomor urut terakhir, tanpa dukungan logistik, tanpa pelatihan, dan tanpa peluang nyata untuk terpilih.

Bahkan, tak jarang perempuan hanya menjadi “caleg pelengkap” dipasang untuk memenuhi kuota, lalu ditarik mundur atau digantikan setelah pemilu usai.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved