Opini
MK Mengembalikan Fitrah Hukum
Harapan mendapatkan suasana demokrasi yang substantif dan hukum yang berkeadilan ibarat jauh panggang dari api.
Sekedar contoh uji materi UU Perkawinan terkait pasal batas usia perempuan dan laki-laki yang boleh menikah harus sama 19 tahun.
Dalam amar putusan MK memberikan tenggang waktu paling lambat 3 tahun kepada DPR untuk melakukan perubahan pasal usia perkawinan sesuai putusan MK No. 22 Tahun 2017.
Uraian lebih lanjut kontroversi putusan MK No. 60 dan No. 70, yang kedua putusan ini terkait Pilkada, adalah karena putusan MK dianggap melampaui kewenangan sebagai yang harusnya hanya menguji norma.
Tapi dalam putusan ini MK malah membuat norma baru. Dalam putusan No. 60, MK inti nya mengubah pasal terkait penurunan prosentasi ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Sedangkan putusan MK No. 70, mengubah pasal mengenai syarat batas usia kepala daerah untuk menjadi calon peserta Pilkada dari berdasarkan pada saat pelantikan menjadi pada saat pendaftaran.
Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan argumentasi reasonable sehingga putusan MK itu lahir yang direspon secara positif oleh kalangan pemerhati esensi demokrasi dan esensi hukum yang adil. Tetapi penulis ingin berkomentar bahwa apa yang diputuskan MK tersebut sudah memberikan cerminan mengembalikan fitrah hukum yang berkeadilan.
Hukum yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan golongan tertentu bahkan hukum yang hanya akan menyenangkan sosok personal yang memiliki otoritas kekuasaan saja.
Bagi penulis, apa yang telah diputuskan oleh hakim MK itu adalah sudah sesuai kompotensi yang dimiliki sebagai lembaga yudisial.
Lembaga yang memiliki independensi untuk memutuskan berdasarkan keyakinannya sebagai sosok hakim.
Juga harus dipandu oleh tiga tujuan hukum seperti yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Terkadang dalam kenyataannya tiga tujuan hukum ini terasa sulit diwujudkan.
Kalau terjadi benturan dan sulit dipertemukan ketiga tujuan hukum, maka Gustav mengajarkan asas prioritas, yaitu harus mengutamakan prinsip keadilan.
Mungkin terhadap kedua putusan MK terkait Pilkada ini hakim MK diinspirasi oleh ajaran Gustav Radbruch, sehingga memutuskan uji materi, hakim tidak terpatok pada UU yang mengatur kewenangan MK hanya menguji norma.
Tetapi demi untuk mewujudkan nilai rasa keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (sosial justice), maka hakim juga merumuskan norma terkait ambang batas pencalonan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (Putusan No. 60) dan mengubah batas usia calon kepala daerah (Putusan No. 70).
Selain argumen di atas tentang dasar pembenaran putusan MK. Penguatan legalitas Putusan MK No. 60 dan No. 70, yang dianggap sebagian kalangan melampaui kewenangan nya yang diatur dalam UU MK hanya menguji norma bukan membuat norma, juga dapat penulis katakan, ketika kita belajar dasar ilmu hukum dosen sering mengajarkan bahwa seorang hakim dalam memutuskan kasus jangan hanya menjadi terompet UU.
Tetapi seorang hakim harus berani memutuskan dengan mengabaikan kepastian hukum demi untuk mewujudkan fitrah hukum yang sebenarnya, yaitu memenuhi nilai rasa keadilan masyarakat umum.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.