Opini
MK Mengembalikan Fitrah Hukum
Harapan mendapatkan suasana demokrasi yang substantif dan hukum yang berkeadilan ibarat jauh panggang dari api.
Oleh: Fadli Andi Natsif
Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
Menjelang Pemilu Pilpres 2024 bahkan sampai dimulainya kontestasi pilkada serentak yang akan dilakukan November 2024, persoalan demokrasi dan dunia hukum selalu terusik dan terjadi anomali terhadapnya.
Harapan mendapatkan suasana demokrasi yang substantif dan hukum yang berkeadilan ibarat jauh panggang dari api.
Fenomena itu dapat diamati mulai ketika keluar putusan MK No. 90 yang dianggap sebagai karpet merah bagi Gibran mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Pada akhirnya terpilih mendampingi Prabowo. Menunggu sisa dua bulan, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Oktober 2024.
Putusan MK No. 90 tidak dapat dipungkiri menjadi arena perdebatan bukan hanya dalam dunia hukum tapi juga dalam ranah demokrasi.
Perdebatan karena prosedur lahirnya terjadi conflict of interest.
Salah seorang hakim dalam hal ini Ketua MK ketika itu, yang terlibat dalam putusan No. 90 adalah paman nya Gibran.
Dalam ketentuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang diperkuat dalam Peraturan MK bahwa kode etik dan panduan perilaku hakim harus menjadi pedoman moral baik di dalam mau pun di luar dinas.
Salah satu prinsip yang harus dihormati adalah prinsip ketakberpihakan.
Kalangan sudah memahami Putusan MK No. 90 meski pun bukan secara langsung Gibran menjadi legal standing sehingga lahir putusan ini, tetapi Gibran yang dapat menikmati hasil putusan tersebut.
Susah diterima akal sehat kalau dikatakan seorang Ketua MK, yang punya posisi sangat berpengaruh melahirkan putusan itu tidak dikatakan tidak memiliki keberpihakan kepada yang bisa menikmati konsekuensi putusan, yaitu Gibran sebagai keponakan istrinya.
Dampak produk hukum berupa putusan Hakim MK No. 90 inilah yang menjadi persoalan demokrasi yang kita tidak harapkan yaitu munculnya demokrasi yang menumbuhkembangkan dinasti politik.
Belum berlangsung lama fitrah penegakan hukum yang tercoreng dengan fenomena putusan hukum yang tidak adil menjelang Pilpres 2024, kita dikejutkan lagi dengan fenomena pembangkangan lembaga negara (DPR) yang diharapkan membuat aturan hukum yang adil dan pro rakyat.
Untunglah segera masyarakat sipil yang didukung oleh kalangan akademisi melakukan aksi secara massif di beberapa daerah untuk mengkritisi rencana pembangkangan lembaga negara tersebut.
Sehingga rencana mencederai fitrah hukum yang ideal nya pro kepada kepentingan rakyat tidak kesampaian.
Arus balik pengembalian fitrah penegakan hukum pasca Pilpres 2024 juga dilakukan oleh MK sendiri dengan melahirkan Putusan MK No. 60 dan No. 70.
Kalau sebelumnya putusan dalam masa Pilpres dikatakan mencederai nilai hukum dan proses demokrasi, sedangkan Putusan MK No. 60 dan No. 70 terkait dengan pelaksanaan proses Pilkada serentak di setiap daerah November 2024, dianggap menjunjung tinggi nilai hukum dan proses demokrasi yang mencerminkan kepentingan rakyat.
Seolah MK ingin mengembalikan marwah atau harga diri yang sebelumnya berada di titik nadir akibat Putusan No. 90. Dengan Putusan No. 60 dan No. 70, MK ingin memulihkan jati diri sebagai lembaga yudisial pengawal konstitusi dan nilai-nilai HAM.
Terlepas putusan MK terkait Pilkada debatable di kalangan orang hukum. Itu sesuatu hal yang lumrah. Sesuai dengan pameo "kalau dua orang sarjana hukum ketemu akan melahirkan tiga pendapat.
Esensi tulisan ini ingin menarasikan sesuatu argumen yang mungkin ada sarjana hukum tidak setuju atau bisa jadi ada juga yang memahami.
Sebenarnya terkait esensi putusan MK sudah sering menjadi perdebatan klasik. Terkhusus esensi putusan MK yang seharusnya hanya menafsirkan norma.
Jangan melampaui kewenangan membuat putusan yang mengarah pada melahirkan norma.
Dalam pengajaran dasar ilmu hukum dikenal istilah ius constitutum dan ius constituendum.
Secara sederhana oleh Sudikno Mertokusumo (Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, 2006) mengartikan ius contitutum adalah hukum yang telah ditetapkan, sedangkan ius contituendum adalah hukum yang harus masih ditetapkan atau hukum yang dicita-citakan.
Dalam suatu kesempatan salah seorang hakim konstitusi, Arief Hidayat, mengatakan esensi putusan MK bukan hanya ius constitutum, tetapi juga sering mengandung ius constituendum.
Berdasarkan ini, maka dapat dimaknai ketika lahir putusan MK, maka seketika dapat menjadi hukum yang berlaku, sesuai dengan prinsip erga omnes.
Prinsip putusan MK berkekuatan hukum mengikat dan berlaku pada siapa saja. Esensi putusan MK seperti inilah diistilahkan ius constitutum.
Sedangkan putusan MK yang mengandung makna ius constituendum, biasanya dibunyikan dalam amar putusannya yang memberikan rekomendasi kepada pembentuk UU dalam hal ini DPR, untuk melakukan perubahan dalam jangka waktu tertentu terhadap bunyi pasal dalam UU yang diuji materi.
Sekedar contoh uji materi UU Perkawinan terkait pasal batas usia perempuan dan laki-laki yang boleh menikah harus sama 19 tahun.
Dalam amar putusan MK memberikan tenggang waktu paling lambat 3 tahun kepada DPR untuk melakukan perubahan pasal usia perkawinan sesuai putusan MK No. 22 Tahun 2017.
Uraian lebih lanjut kontroversi putusan MK No. 60 dan No. 70, yang kedua putusan ini terkait Pilkada, adalah karena putusan MK dianggap melampaui kewenangan sebagai yang harusnya hanya menguji norma.
Tapi dalam putusan ini MK malah membuat norma baru. Dalam putusan No. 60, MK inti nya mengubah pasal terkait penurunan prosentasi ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Sedangkan putusan MK No. 70, mengubah pasal mengenai syarat batas usia kepala daerah untuk menjadi calon peserta Pilkada dari berdasarkan pada saat pelantikan menjadi pada saat pendaftaran.
Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan argumentasi reasonable sehingga putusan MK itu lahir yang direspon secara positif oleh kalangan pemerhati esensi demokrasi dan esensi hukum yang adil. Tetapi penulis ingin berkomentar bahwa apa yang diputuskan MK tersebut sudah memberikan cerminan mengembalikan fitrah hukum yang berkeadilan.
Hukum yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan golongan tertentu bahkan hukum yang hanya akan menyenangkan sosok personal yang memiliki otoritas kekuasaan saja.
Bagi penulis, apa yang telah diputuskan oleh hakim MK itu adalah sudah sesuai kompotensi yang dimiliki sebagai lembaga yudisial.
Lembaga yang memiliki independensi untuk memutuskan berdasarkan keyakinannya sebagai sosok hakim.
Juga harus dipandu oleh tiga tujuan hukum seperti yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherkeit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Terkadang dalam kenyataannya tiga tujuan hukum ini terasa sulit diwujudkan.
Kalau terjadi benturan dan sulit dipertemukan ketiga tujuan hukum, maka Gustav mengajarkan asas prioritas, yaitu harus mengutamakan prinsip keadilan.
Mungkin terhadap kedua putusan MK terkait Pilkada ini hakim MK diinspirasi oleh ajaran Gustav Radbruch, sehingga memutuskan uji materi, hakim tidak terpatok pada UU yang mengatur kewenangan MK hanya menguji norma.
Tetapi demi untuk mewujudkan nilai rasa keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (sosial justice), maka hakim juga merumuskan norma terkait ambang batas pencalonan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (Putusan No. 60) dan mengubah batas usia calon kepala daerah (Putusan No. 70).
Selain argumen di atas tentang dasar pembenaran putusan MK. Penguatan legalitas Putusan MK No. 60 dan No. 70, yang dianggap sebagian kalangan melampaui kewenangan nya yang diatur dalam UU MK hanya menguji norma bukan membuat norma, juga dapat penulis katakan, ketika kita belajar dasar ilmu hukum dosen sering mengajarkan bahwa seorang hakim dalam memutuskan kasus jangan hanya menjadi terompet UU.
Tetapi seorang hakim harus berani memutuskan dengan mengabaikan kepastian hukum demi untuk mewujudkan fitrah hukum yang sebenarnya, yaitu memenuhi nilai rasa keadilan masyarakat umum.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.