Opini
Arus Balik Kebudayaan: Lokalitas dan Poskolonialitas
Aksesoris tradisional yang sangat lekat dengan pesta pernikahan orang-orang di Sulawesi Selatan dan Barat. Suku Bugis atau Makassar?
Nicolaas Adriani dan Albertus Christiaan Kruyt adalah dua teolog dan etnolog Belanda yang berperan penting dalam pemetaan sosial masyarakat berdasarkan bahasa di Sulawesi.
Pendekatan etnologinya dalam pengelompokan bahasa-bahasa, banyak dijadikan rujukan sebagai dasar pembentukan kategori etnik/kesukuan, khususnya di Sulawesi Selatan dan Barat kini.
Jika kesukuan/etnisitas memang benar adanya, harus dicari terlebih dahulu siapa kepala/pemimpin suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan suku-suku lainnya?
Kalau tidak ditemukan, patutlah dipertanyakan, bagaimana mungkin sebuah struktur sosial tidak memiliki kepemimpinan?
Sejak kapan orang-orang di Nusantara dan Sulawesi khususnya mulai mengidentifikasi dirinya berdasarkan kesukuan/etnisitas itu?
Sebab, jangan sampai kita disibukkan oleh perdebatan tentang imajinasi sosial yang sebenarnya tidak memiliki akar dalam sejarah dan kebudayaan negeri ini.
Kesukuan diimajinasikan sebagai identitas bersifat kodrati (given), paten dan tetap (fixed).
Padahal identitas itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat cair dan dinamis, mengikuti pola-pola perubahan dan perkembangan masyarakat dengan akar sejarah dan kebudayaan tertentu.
Identitas kesukuan itu bukanlah kodrat, tetapi konstruksi sosial yang dibangun lewat persepsi-imajinasi untuk membangun ikatan-ikatan mental-psikologis.
Itulah mengapa, identitas lebih dekat dengan emosi dari pada akal budi.
Ia dapat menjadi alat membangun imajinasi persatuan, sekaligus dapat digunakan sebagai alat melancarkan sentimen permusuhan dan perpecahan berbasis kelompok/golongan.
Poskolonialitas
Jika kita mengamini konsep sosial sukuisme dalam membaca Nusantara, berarti kita sekaligus mengatakan leluhur kita sebagai orang-orang primitif yang tak mengenal kebudayaan dan ketanegaraan.
Justru itulah justifikasi bangsa-bangsa Eropa melakukan kolonialisasi dalam rangka memperadabkan (civilize) bangsa-bangsa timur yang dianggapnya masih primitif.
Bisa jadi itu pula sebabnya, saat kita membicarakan perihal leluhur, memori yang mengendap di alam bawah sadar adalah mereka lekat dengan kehidupan primitif; kolot, jumud, terbelakang, penganut animisme-dinamisme dan label stigmatik lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.