Opini
Tak Pernah Merencanakan Masa Depan
Di desa ini, Pabittei memang cukup terpandang. Selain karena memangku jabatan kepala sekolah, rasa hormat tumbuh berkat asal-usul Pabittei.
Oleh: M Dahlan Abubakar
Penulis Buku “A. Amiruddin Nakhoda dari Timur”
Almanak menunjuk 25 Juli 1932. Desa Gilireng yang terlelap semalam mulai terjaga.
Keluarga Pabittei sejak semalam berjaga. Kepala sekolah di desa tersebut, begadang mendampingi istrinya, Saodah yang mengerang di pembaringan yang usia kehamilannya telah memasuki waktu melahirkan.
Sejak tengah malam perutnya mulas-mulas. Jiran terdekat berdatangan untuk membantu.
Di desa ini, Pabittei memang cukup terpandang. Selain karena memangku jabatan kepala sekolah, rasa hormat tumbuh berkat asal-usul Pabittei.
Ia berasal dari perkawinan dua keluarga besar; pihak ibunya dari Peneki, pihak ayahnya dari Belawa - Anabanua. Pabittei lima bersaudara.
Dalam strata sosial Bugis, keluarga Pabittei termasuk di dalam kelompok “orang-orang merdeka” (kelas menengah).
Kelas orang-orang merdeka ini dalam tingkatan sosial Bugis memiliki hak istimewa; bebas berhubungan dengan kelompok bangsawan.
Keluarga Pabittei pun masih memiliki pertalian kekerabatan dengan datu-datu (bangsawan) Wajo.
Berbeda dengan lazimnya perempuan pada masa itu, Saodah – istri Pabittei – memiliki cakrawala yang luas.
Penyebabnya, sejak kecil hingga remaja, perempuan ini mengikuti orang tuanya berlayar ke Singapura dan Kalimantan.
Ayahnya (kakek Amiruddin dari pihak ibu) memang berdarah Melayu Singapura.
Berkat sering bepergian, membuat Saodah memiliki beragam keterampilan. Mulai dari memasak hingga jahit menjahit.
Tangis bayi pun terdengar menyayat subuh.
Saodah berhasil melahirkan bayinya pada subuh, almanak menunjuk 25 Juli 1932, bertepatan dengan maulid Nabi Muhammad saw.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.