Opini
Melawan Asa: Perlindungan Hak Anak di Tengah Dinamika Sosial, Mungkinkah?
Hari itu menjadi moment istimewa untuk merayakan kebahagiaan dan harapan yang di bawa oleh anak-anak Indonesia.
Menurut laporan UNAIDS 2021, remaja LGBT, terutama laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL), menunjukkan prevalensi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Data ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) pada tahun
2022, yang menemukan bahwa prevalensi HIV di kalangan remaja LSL mencapai sekitar 17 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 0,4 persen.
Belum lagi kecanduan game online yang akhirnya membuat anak dan remaja terperangkap pada perilaku judi online.
Mudahnya akses judi online menjadikan siapa saja bisa main judi.
Berdasarkan data PPATK tahun 2017-2022 dari sekitar 2,7 juta orang yang bermain judi online, sebanyak 2.190.447 orang melakukan
aktivitas pertaruhan dengan nominal kecil (dibawah 100 ribu), diduga mereka ini golongan warga berpenghasilan rendah.
Dari sisi usia, para pemain judi online didominasi anak muda usia 17-22 tahun.
Terdapat 440 ribu orang berusia 10-20 tahun yang bermain judi online, usia 21-30 tahun berjumlah 520 ribu orang.
Bahkan yang mencengangkan, ketua Satgas Judi Online Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa 2 persen atau 80 ribu pemain judi online adalah anak berusia 10 tahun.
Fakta-fakta dari problematika ini sering menggelitik kecemasan kita, akankah generasi ini mampu menjadi generasi emas di masa depan?!.
Apalagi saat melihat tingginya privalensi dari berbagai masalah yang dihadapi anak dan remaja saat ini, kita seperti sedang memupus asa akan indahnya mimpi memiliki generasi yang sehat, cerdas dan mampu memimpin negara ini menjadi lebih baik.
Lalu apa yang harus dilakukan sebagai orang tua?. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjadi orang tua sholih.
Jika ingin anak yang sholih maka orang tua wajib menjadi qudwah atau teladan.
Keteladan pada orang tua ini, akan menjadi role model untuk anak.
Membangun pondasi keimanan yang kokoh, agar anak bisa memilih mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Selain itu membangun koneksi dengan anak penting dilakukan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Trisnawaty-SPsi-MPsi-Psikolog-Dosen-Fakultas-Kedokteran-12.jpg)