Opini
Meninjau Ulang Makna Broken Home: Utuh Tidak Sama dengan Harmonis
Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis adalah anugerah dan harapan bagi setiap orang.
Oleh: Mekar Mediana Iriani Setiabudi
Mahasiswa Politeknik STIA LAN Makassar
SEORANG penulis buku Grounded Spirituality bernama Jeff Brown mengatakan, “A home is broken when there is an absence of love. If there is love, nothing’s broken.”
Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis adalah anugerah dan harapan bagi setiap orang.
Tetapi, apakah keluarga yang utuh menjamin adanya cinta dan kenyamanan?
Kenyataannya, keluarga yang utuh belum tentu harmonis. Jika di dalam rumah sudah tidak ada cinta dan kenyamanan, untuk
apa dipertahankan?
Kebanyakan orang masih salah mengartikan ‘arti’ dari broken home.
Sering kali orang mengaitkan broken home dengan keluarga yang tidak lagi utuh atau keluarga yang orang tuanya bercerai.
Namun, broken home juga dapat dialami oleh keluarga yang lengkap.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Organisasi Hukum Keluarga, Resolution, terhadap anak muda usia 14-22 yang hidup dalam keluarga tidak harmonis.
Ada sekitar 82 persen partisipan yang lebih memilih orang tua untuk bercerai daripada mempertahankan keluarga yang berantakan.
Partisipan tersebut memberi saran kepada orang tuanya, salah satunya mengatakan, “Jangan bertahan karena anak, lebih baik bercerai daripada terus bersama.”
Mereka yang lebih memilih orang tuanya untuk berpisah adalah mereka yang sudah muak dengan kondisi rumah yang tidak ada kedamaian.
Menurut laporan data Statistik Indonesia tahun 2022, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus.
Ada banyak faktor penyebab perceraian, salah satunya perselisihan dan pertengkaran.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.