Opini
Dilema Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan
Presiden Joko Widodo menandatangani perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Keterlibatan ormas dalam pengelolaan tambang secara langsung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan misi sosial mereka.
Sebagai operator tambang, ormas mungkin, akan menghadapi dilema antara memaksimalkan keuntungan dan melindungi kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan.
Hal ini dapat menimbulkan risiko reputasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap ormas sebagai entitas yang memperjuangkan keadilan sosial.
Selain itu, industri pertambangan memiliki track record yang problematik dalam hal dampak lingkungan dan konflik sosial dengan komunitas lokal.
Banyak kasus di berbagai negara menunjukkan bagaimana aktivitas tambang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran air dan udara, penggusuran paksa, serta pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
Keterlibatan ormas dalam industri ini berisiko mengurangi peran kritis mereka dalam mengadvokasi hak-hak komunitas terdampak dan menjaga akuntabilitas korporasi.
Pemberian izin ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas dan keahlian
ormas dalam mengelola sektor tambang yang kompleks dan penuh risiko.
Diperlukan pengetahuan teknis, sumber daya manusia yang qualified, serta sistem manajemen yang robust untuk memastikan operasi tambang yang aman, efisien, dan berkelanjutan.
Tanpa kapasitas yang memadai, resiko seperti kecelakaan kerja, bencana lingkungan, atau praktik-praktik yang tidak berintegritas tidak dapat dihindari.
Terlepas dari niat baik di balik kebijakan ini, seperti pemberdayaan ekonomi ormas atau redistribusi manfaat sumber daya alam, preseden ini tampaknya problematik dari berbagai perspektif.
Alih-alih memberikan izin langsung, mungkin lebih bijaksana bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan industri tambang, serta
melibatkan ormas dalam perumusan kebijakan dan pemantauan dampak sosial-
lingkungan.
Dengan demikian, ormas dapat tetap berperan sebagai kekuatan
penyeimbang dan advokasi, tanpa harus terjebak dalam konflik kepentingan sebagai operator.
Pada akhirnya, kebijakan perlu dikaji secara kritis dan dibandingkan dengan praktik- praktik terbaik di negara lain.
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi prinsip utama dalam tata kelola sumber daya alam.
Hanya dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa kekayaan alamnya dikelola secara adil, berkelanjutan, dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.