Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Dilema Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan

Presiden Joko Widodo menandatangani perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

dok pribadi
Irsak Sirajuddin - Warga Takalar, Mahasiswa S2 International Disaster Management, The University of Manchester 

Dilema Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan
Oleh: Irsak Sirajuddin
Warga Takalar, Mahasiswa S2 International Disaster Management, The
University of Manchester

TRIBUN-TIMUR.COM -Pemberian izin kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola pertambangan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, merupakan fenomena yang sangat baru dan mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia.

Presiden Joko Widodo menandatangani perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara pada 30 Mei 2023.

Dalam aturan baru tersebut, tertuang pada Pasal 83A Ayat (1), dijelaskan bahwa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas dan organisasi keagamaan.

Benturan Peran Ormas: Misi Sosial vs Orientasi Profitabilitas

Presiden ini menimbulkan pertanyaan penting tentang peran dan fungsi ormas dalam masyarakat, serta potensi dampaknya terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola sumber daya alam.

Secara fundamental, pemberian izin ini tampaknya bertentangan dengan sifat dasar (nature) dan tujuan utama dari ormas.

Ormas, termasuk yang berbasis keagamaan, umumnya didirikan dengan misi sosial-kemanusiaan, seperti pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan, atau advokasi hak-hak warga.

Peran ini jelas berbeda dengan pengelolaan industri ekstraktif seperti pertambangan, yang memerlukan keahlian teknis, modal besar, dan orientasi pada profitabilitas.

Salah satu contoh di tahun 2018 misalnya, dalam kasus rencana pembangunan tambang batu bara baru di Queensland Utara, Australia, lebih dari 50 pemimpin agama dari berbagai denominasi Kristen, Islam, Yahudi, dan Buddha mengirim surat terbuka kepada Gautam Adani, pendiri Adani Group, untuk membatalkan proyek tersebut.

Mereka berargumen bahwa dampak lingkungan dari tambang baru akan terlalu besar dan tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi jangka pendek.

Para pemimpin agama ini juga menyerukan agar Adani Group berinvestasi dalam energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Langkah yang sama juga dilakukan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah turut mengadvokasi warga desa Wadas

dengan menerbitkan policy brief yang berisi kajian komprehensif mengenai bukti pelanggaran HAM dan krisis sosio-ekologi di Wadas akibat akitvitas pertambangan batu andesit.

Kasus ini menunjukkan bahwa keterlibatan ormas keagamaan dalam pertambangan dapat menimbulkan kontradiksi dengan nilai-nilai yang mereka anut.

Keterlibatan ormas dalam pengelolaan tambang secara langsung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan misi sosial mereka.

Sebagai operator tambang, ormas mungkin, akan menghadapi dilema antara memaksimalkan keuntungan dan melindungi kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan.

Hal ini dapat menimbulkan risiko reputasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap ormas sebagai entitas yang memperjuangkan keadilan sosial.

Selain itu, industri pertambangan memiliki track record yang problematik dalam hal dampak lingkungan dan konflik sosial dengan komunitas lokal.

Banyak kasus di berbagai negara menunjukkan bagaimana aktivitas tambang dapat  menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran air dan udara, penggusuran paksa, serta pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Keterlibatan ormas dalam industri ini berisiko mengurangi peran kritis mereka dalam mengadvokasi hak-hak komunitas  terdampak dan menjaga akuntabilitas korporasi.

Pemberian izin ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kapasitas dan keahlian
ormas dalam mengelola sektor tambang yang kompleks dan penuh risiko.

Diperlukan pengetahuan teknis, sumber daya manusia yang qualified, serta sistem manajemen yang robust untuk memastikan operasi tambang yang aman, efisien, dan berkelanjutan. 

Tanpa kapasitas yang memadai, resiko seperti kecelakaan kerja, bencana lingkungan, atau praktik-praktik yang tidak berintegritas tidak dapat dihindari.

Terlepas dari niat baik di balik kebijakan ini, seperti pemberdayaan ekonomi ormas atau redistribusi manfaat sumber daya alam, preseden ini tampaknya problematik dari berbagai perspektif.

Alih-alih memberikan izin langsung, mungkin lebih bijaksana bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan industri tambang, serta
melibatkan ormas dalam perumusan kebijakan dan pemantauan dampak sosial-
lingkungan.

Dengan demikian, ormas dapat tetap berperan sebagai kekuatan
penyeimbang dan advokasi, tanpa harus terjebak dalam konflik kepentingan sebagai operator.

Pada akhirnya, kebijakan perlu dikaji secara kritis dan dibandingkan dengan praktik- praktik terbaik di negara lain.

Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi prinsip utama dalam tata kelola sumber daya alam.

Hanya dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa kekayaan alamnya dikelola secara adil, berkelanjutan, dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Angngapami?

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved