Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

DPR Bantah Cuti Melahirkan Ibu Pekerja 6 Bulan Sesuai UU KIA, Ace Hasan Syadzily : 3 bulan!

Dalam salah satu pasal UU KIA dijabarkan terkait masa cuti melahirkan ibu pekerja yang sebelumnya 3 bulan menjadi maksimal 6 bulan.

Editor: Alfian
ist
Anggota DPR RI Ace Hasan Syadzily bantah cuti melahirkan ibu pekerja sesuai UU KIA 6 bulan. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Kabar baik terkait bertambahnya masa cuti melahirkan bagi ibu pekerja jadi 6 bulan berdasarkan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru disahkan dibantah anggota DPR RI.

Sebelumnya, DPR RI mensahkan RUU KIA menjadi undang-undang.

Dalam salah satu pasal UU KIA dijabarkan terkait masa cuti melahirkan ibu pekerja yang sebelumnya 3 bulan menjadi maksimal 6 bulan.

Namun Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyebut ada interpretasi yang keliru terkait masa cuti melahirkan ini.

Secara tegas Ace Hasan Syadzily menyebut cuti melahirkan tetap 3 bulan.

Lantas bagaimana sebenarnya isi UU KIA terkait masa cuti melahirkan ibu pekerja?

Berikut penjelasan lengkap Ace Hasan Syadzily.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, sesungguhnya ibu pekerja tidak mendapatkan hak cuti melahirkan selama enam bulan, tetapi hanya tiga bulan.

Adapun hak cuti melahirkan sampai enam bulan bagi ibu pekerja tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada fase 1.000 hari pertama kehidupan yang telah disahkan DPR menjadi UU.

Baca juga: Cuti Melahirkan Jadi 6 Bulan, UU KIA Juga Atur Hak Cuti Suami

Baca juga: Nama Calon Menteri Prabowo: Ace Hasan Syadzily Menteri Pendidikan, Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama

Mulanya, Ace merasa pihaknya perlu mengklarifikasi mengenai pemahaman publik terkait cuti melahirkan bagi ibu pekerja.

"Jadi UU ini ruang lingkupnya adalah bagi ibu hamil dan ibu melahirkan, serta anak yang berusia sampai 1.000 hari kehidupan, artinya dari mulai dia di dalam janin ya sampai kepada usia 2 tahun ketika dia sudah selesai usia menyusui," ujar Ace di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).

Ace memaparkan, semangat dari dibentuknya UU KIA ini adalah negara ingin memberikan perhatian kepada ibu hamil, ibu melahirkan, dan anak.

Dengan adanya UU KIA ini, seorang anak akan betul-betul diperhatikan sejak lahir hingga berusia 2 tahun.

"Karena apa? Karena kita tahu kan bahwa angka kematian ibu melahirkan juga cukup tinggi. Dan juga anak-anak atau bayi yang baru dilahirkan juga cukup tinggi," ujar dia. 

"Dan ini adalah sebagai bentuk perhatian dari negara agar justru pada fase ini adalah fase yang sangat menentukan bagi tumbuh kembang anak," kata Ace.

Menurut dia, jika anak tidak mendapat perhatian serius pada 1.000 hari pertama kehidupannya, ia berisiko stunting.

Lalu, terkait cuti melahirkan, Ace menegaskan, sebenarnya cuti yang diberikan kepada ibu pekerja adalah selama tiga bulan.

Hanya saja, cuti melahirkan itu bisa mendapat tambahan tiga bulan lagi jika sang ibu dipandang dokter masih dalam kondisi yang perlu pemulihan.

Hal inilah yang menimbulkan persepsi bahwa ibu melahirkan bisa mendapat cuti melahirkan hingga enam bulan.

"Jadi sesungguhnya tidak 6 bulan. 3 bulan. Ini sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Jadi terkait dengan UU KIA ini difokuskan kepada ibu hamil dan ibu melahirkan, serta anak yang berusia 1.000 hari kehidupan itu," kata dia. 

"Ini adalah tonggak awal bagi peningkatan SDM Indonesia yang harus diurus atau dikelola dengan baik dari mulai sejak ada dalam janin hingga usia 2 tahun," ucap Ace.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang (UU).

Aturan Lengkap UU KIA

UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan atau UU KIA mengatur hak dan kewajiban bagi seorang ibu pekerja yang tengah melewati masa persalinan.

UU KIA baru saja disahkan dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Sidang V 2023/2024, Selasa (4/6/2024).

UU tersebut mengatur sejumlah hal terkait hak dan kewajiban anak dan orang tuanya selama proses persalinan, terutama dari tempat kerja.

Di dalamnya, UU juga mengatur hak cuti yang didapat ibu usai melewati proses persalinan.

Pasal 4 misalnya, terkait hak dan kewajiban, menyebutkan seorang ibu yang baru saja melewati proses persalinan berhak mendapat minimal cuti tiga bulan dan maksimal enam bulan.

Ketentuan itu tertuang dalam ayat 3, yang berbunyi:

"Setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan: a. cuti melahirkan dengan ketentuan 1. paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan 2. paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter".

Kondisi khusus yang dimaksud diatur pada ayat 5 berikutnya. Beberapa kondisi khusus itu yakni, ibu yang mengalami masalah atau gangguan kesehatan, dan atau komplikasi pascapersalinan, serta keguguran.

Kemudian, anak yang dilahirkan mengalami gangguan atau masalah kesehatan, dan atau komplikasi. Cuti minimal tiga bulan dan maksimal enam bulan berhak diberikan pemberi kerja.

"Cuti melahirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib diberikan oleh pemberi kerja," demikian bunyi ayat 4.

Sementara, bagi ibu yang mengalami keguguran, sesuai keterangan dokter atau bidan, berhak mendapat waktu istirahat 1,5 bulan.

Ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 poin b, "waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran".

Nah, selama masa cuti tersebut, seorang ibu tetap berhak mendapat upah penuh dari tempat kerjanya dalam empat bulan pertama.

Sedangkan, dua bulan berikutnya mendapat 75 persen upah dari tempat kerja.

Jika, hak itu tidak dipenuhi, atau bahkan diberhentikan dari tempat kerjanya, seorang ibu berhak mendapat pendampingan hukum dari pemerintah pusat atau daerah.

"Dalam hal Ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi pasal Pasal 5 ayat 3.(*)

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved