Opini
Komeng, Menuju Indonesia yang Lebih Uhuy
Fotonya yang unik, dan perolehan jumlah suara sebanyak 1.857.323 per 21 Februari, menghebohkan publik. Lantas bagaimana fenomena ini kita bicarakan?
Dalam arti, kekuasaan pihak tertentu dapat dengan mudah mengakses sumber daya potensial berupa jabatan, badan pemerintahan, institusi sosial, sumber daya ekonomi, dan kewenangan politik dengan tujuan mengerahkan kekuatan sosial yang mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Bahkan aparatus kekuasaan dalam lingkup budaya sampai dapat mengeksploitasi sensasi rasa dalam menilai sesuatu.
Dilihat dari sisi ini, dapat dipahami, seperti contoh di masa Orde Baru, kekerasan kepada golongan kiri dibenarkan bukan saja dari segi pemikiran, tapi juga diterima melalui normalisasi “perasaan”.
Itu sebab, pembantaian kekuatan politik kiri di Indonesia dapat dilakukan secara massif tanpa rasa takut, khawatir, apalagi jijik, ketika berhadapan dengan “darah”, “tubuh koyak”, atau pembakaran tubuh.
Lalu apa yang dapat menjelaskan fenomenan Komeng, jika konsep hegemoni tidak begitu tepat?
Mengingat Komeng tidak memiliki posisi kekuasaan dari institusi pemerintahan, atau agen kebudayaan yang bergerak dalam rangka memenangkannya? Salah satu penjelasan atas itu adalah popularitasnya yang beririsan dengan industri budaya.
Melalui konteks ini, Komeng adalah ikon budaya, yang ditunjang dengan industri budaya.
Sama seperti seniman lainnya, Komeng adalah seorang pekerja seni kontemporer yang bekerja secara hampir seumur hidupnya di dalam kegiatan budaya tidak saja sebagai bagian dari nilai-nilai, tapi juga sebagai komoditas.
Budaya sebagai komoditas bekerja berdasarkan prinsip ekonomi yang memanfaatkan kepuasaan sebagai salah satu indikator dalam kegiatan transaksi ekonomi.
Kegiatan ekonomi masyarakat sekarang, tidak saja dalam rangka memenuhi kebutuhan primernya semata, tapi juga untuk menyanggupi keinginan-keinginan yang berbeda dari logika kebutuhan.
Di era kapitalisme lanjut, mode produksi telah berubah bukan sekedar untuk menghasilkan banyak produk, yang berisiko akan mengalami gagal jual atau overproduksi.
Melainkan ikut memproduksi selera pasar, yang dengan kata lain menciptakan calon konsumen melalui sejumlah pendekatan seperti iklan, narasi populer, dan gaya hidup konsumtif.
Dengan kata lain, setiap produk dihasilkan, sudah dengan sebelumnya selera pasardiciptakan.
Kegiatan ini telah menjadi dasar masyarakat konsumtif yang bertolak dari seleranya untuk berbelanja di samping untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Dengan analisis seperti ini, dapat diuraikan Komeng menjadi lebih mudah terpilih.
Ia datang tepat setelah selera pemilih membutuhkan ikon populer dibandingkan sejumlah nama yang gagal merepresentasikan dirinya di kehidupan banyak orang.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.