Opini
Komeng, Menuju Indonesia yang Lebih Uhuy
Fotonya yang unik, dan perolehan jumlah suara sebanyak 1.857.323 per 21 Februari, menghebohkan publik. Lantas bagaimana fenomena ini kita bicarakan?
Oleh:
Bahrul Amsal
Dosen Sosiologi FIS-H UNM
TRIBUN-TIMUR.COM - PEMILU 2024 menghasilkan banyak cerita, termasuk perolehan suara Alfiansyah Bustami alias Komeng, komedian termahal di Tanah Air, yang berlaga menjadi caleg DPD Dapil Jawa Barat.
Fotonya yang unik, dan perolehan jumlah suara sebanyak 1.857.323 per 21 Februari, menghebohkan publik.
Lantas bagaimana fenomena ini kita bicarakan?
Dari analisis sosiologi politik, Komeng adalah fakta yang menarik untuk membicarakan hubungan popularitas dan partisipasi politik.
Dia bisa menjadi contoh untuk menjelaskan bagaimana modal sosial jika dimanfaatkan untuk kepentingan jangka panjang, termasuk politik, dapat dengan mudah mempengaruhi pilihan politik seseorang.
Tidak benar jika Komeng dikatakan tidak berkampanye dan bersosialisasi untuk meraih suara karena itu dia lakukan tidak dalam domain politik, tapi kebudayaan.
Pekerjaannya sebagai seniman selama ini membuatnya lebih mudah untuk dikenal, diterima, dan dipilih.
Tidak bisa dimungkiri, kehadirannya lewat kertas suara yang unik dan tiba-tiba, menjadi bukti seperti apa masyarakat memilih atas dasar proses sosialisasi Komeng yang dia lakukan melalui pekerjaannya sebagai seniman, bintang iklan, dan sejumlah acara yang pernah melejitkan namanya.
Dari aspek kekuasaan, melalui domain budaya, Komeng berhasil mengubah popularitasnya menjadi kekuatan hegemoni.
Ia tidak perlu bersusah-susah berkampanye karena peran bawah sadar masyarakat telah ia bentuk selama bertahun-tahun.
Komeng dari seorang seniman menjadi bagian penting bagaimana seni memiliki dimensi politis yang kuat melibatkan banyak orang untuk melakukan sesuatu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.