Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Komeng, Menuju Indonesia yang Lebih Uhuy

Fotonya yang unik, dan perolehan jumlah suara sebanyak 1.857.323 per 21 Februari, menghebohkan publik. Lantas bagaimana fenomena ini kita bicarakan?

Editor: Alfian
dok pribadi/bahrul
Bahrul Amsal dosen Sosiologi FIS-H UNM. Bahrul Amsal penulis Rubrik Opini Tribun Timur berjudul 'Merebut Ruang Publik'. 

Fenomenan Komeng adalah fenomena yang menguraikan bagaimana humor dapat menjadi satu sisi sumber daya yang berkekuatan.

Banyak orang ketika menyebut kata “spontan (uhuy)”, “Yamaha semakin di depan”, dan “shopee COD”, adalah faktor kuat mengapa komeng bisa unggul suara di pemilu Dapil Jawa Barat 2024.

Komeng juga diuntungkan dengan situasi tidak banyak calon dikenal. Itu sisi lain.

Tapi Komeng punya daya hisap yang luar biasa selain daya tolak dari caleg yang tidak dikenal publik.

Ada beberapa pandangan kasus serupa Komeng banyak dialami dikarenakan figur berparas cantik, atau gagah. Sebab itu mereka terpilih.

Tapi, ganteng dan cantik bagian dari politik citra yang mengeksploitasi panggung demi meraih perhatian. Komeng meski tidak ganteng tapi seorang raja panggung.

Lewat humor dan guyonannya ia bagai Gusdur yang bisa menarik perhatian.

Komeng adalah kemenangan dari budaya layar. Ia meraup untung dari konteks seperti ini.

Menariknya ia membawanya sebagai modal politiknya.

Budaya layar berciri non esensialis dalam arti tidak begitu memperhatikan bobot ketimbang simulasi-simulasi yang lahir di atas pencitraan layar.

Itu artinya, pemilih Komeng tidak terlalu memperhatikan apa gagasan yang ia bawa. Tapi satu visi yang ia perjuangkan, menunjukkan keseriuasannya, Komeng ingin menjadikan hari kelahiran Bing Slamet 27 September sebagai Hari Komedi Indonesia.

Perolehan suara komeng bisa dikatakan mewakili konsep demokrasi yang sesungguhnya, ia “terpilih” bukan “dipilih”, mengingat ia seorang calon independen yang tidak berlatarbelakang partai.

Konsep hegemoni untuk kasus komeng tidak begitu tepat, mengingat setiap hegemoni melibatkan setidaknya dua hal, yaitu posisi sosial, dan kelompok intelektual.

Dalam tradisi pemikiran Gramsci, filsuf politik Italia, hegemoni dapat terjadi jika ada agen yang bekerja dalam rangka membentuk pemahaman dan kesadaran masyarakat, disebut dengan aparatus negara, terutama yang bekerja dalam wilayah kebudayaan.

Sementara posisi sosial dalam bentuk kekuasaan yang dilegitimasi oleh hirarki tertentu, adalah faktor yang juga ikut menentukan bagaimana realiasai hegemoni.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved