Opini
Irasionalitas Politik dan Matinya Kebenaran
Dalam memenangkan kontestasi, para politisi senang menebarkan misinformasi, pernyataan retoris dan klaim tanpa bukti.
Baik Trump maupun Prabowo secara sadar membuat orang-orang meragukan kredibilitas sains dengan cara menyangkal fakta.
Di era pasca-kebenaran seorang politisi bisa saja meruntuhkan keandalan sumber-sumber epistemik terpercaya dengan merumuskan “fakta alternatif”, jika kebenaran mengancam dirinya.
Dengan kata lain, kebenaran telah diremehkan dan dianggap tidak relevan lagi.
Hal tersebut sama halnya membunyikan lonceng kematian bagi kebenaran.
Lantas adakah jalan keluar dari pasca-kebenaran? Dengan berat hati saya mengatakan, tidak ada.
Pasca-kebenaran tidak akan pernah hilang. Jika ada ruang bagi kebenaran menyelinap masuk dalam arena politik, maka akan selalu ada seseorang yang siap mempromosikan pasca-kebenaran.
Meski demikian, setidaknya kita bisa meminimalkan pengaruh negatifnya.
Di sini, dibutuhkan peran lembaga pendidikan dalam menumbuhkan pemikiran kritis dan kesetiaan pada fakta.
Kita juga membutuhkan peran lembaga independen untuk menyelenggarakan literasi digital secara masif, kesediaan masyarakat untuk bermedia sosial secara cakap, dan kesungguhan media massa dalam menebarkan kebenaran dan memeriksa fakta.
Tak kalah pentingnya, kita memerlukan kejujuran dan kebijaksanaan para politisi dalam berkompetisi.
Tapi, apakah mungkin itu terjadi? Entahlah. Saya lantas teringat pernyataan Hannah Arendt (1967), bahwa politik dan kebenaran tidak bisa dicampuradukkan.
Karena tak ada satu pun orang yang menganggap kejujuran sebagai bagian dari kebajikan politik.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Muhajir-MA-Koordinator-Paguyuban-Ekosistem-Informasi-Sehat-PESAT-Sulsel.jpg)