Opini
Irasionalitas Politik dan Matinya Kebenaran
Dalam memenangkan kontestasi, para politisi senang menebarkan misinformasi, pernyataan retoris dan klaim tanpa bukti.
Oleh: Muhajir MA
Koordinator Paguyuban Ekosistem Informasi Sehat (PESAT) Sulsel
Sejak dulu politik selalu menjadi arena yang penuh kebohongan.
Namun saat ini, politik tak hanya ajang dalam mengedarkan dusta, melainkan juga menjadi panggung bagi matinya kebenaran.
Dalam memenangkan kontestasi, para politisi senang menebarkan misinformasi, pernyataan retoris dan klaim tanpa bukti.
Semua itu dilakukan bukan untuk menyampaikan kebenaran, tapi sekadar menyatakan pembenaran.
Mereka tidak berupaya menyampaikan fakta, melainkan menciptakan "fakta alternatif".
Bagi banyak politisi, tak penting informasi tersebut benar atau salah.
Yang penting adalah segala sesuatu tetap sejalan dengan keinginan dan keyakinan pribadinya.
Karena setiap politisi ingin terlihat mendominasi dan tidak tergoyahkan, agar bisa merebut kepercayaan publik, meski harus berbohong dan melecehkan kebenaran.
Inilah yang saya sebut sebagai irasionalitas politik.
Wajah politik yang "di luar nalar" tersebut semakin mempertegas jika kita belum bisa melepaskan diri dari warisan
budaya politik pasca-kebenaran (post-truth).
Oxford Dictionaries mendefinisikan pasca-kebenaran sebagai istilah yang merujuk keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan ajakan emosional dan keyakinan pribadi.
Era yang juga disebut sebagai pasca-faktual (post-factual) ini mengubah ungkapan “I think therefore I am” menjadi “I believe therefore I’m right”.
Kecenderungan irasional tersebut sudah marak ditemui di Pemilu 2024.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Muhajir-MA-Koordinator-Paguyuban-Ekosistem-Informasi-Sehat-PESAT-Sulsel.jpg)