Opini
Aparat Desa 'Dipaksa' Berpolitik?
Juga batas kekuasaan yang mereka bisa jangkau serta pada situasi kapan mereka bisa terlibat dalam politik.
Oleh: Fajlurahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Rezim hukum mengatur banyak hal tentang eksistensi aparat desa (kepala desa, BPD dan perangkat desa), terutama dalam relasi mereka dengan politik dan kekuasaan.
Juga batas kekuasaan yang mereka bisa jangkau serta pada situasi kapan mereka bisa terlibat dalam politik.
Desa adalah basis suara politik. Desa adalah pusat suara rakyat di konsolidasikan.
Memenangkan hati rakyat di desa, berarti memenangkan kekuasaan politik di tingkat nasional.
Itulah sebabnya, banyak cara yang dilakukan untuk menjinakkan aparat desa, juga tokoh-tokoh kunci di desa.
Dalam politik elektoral, eksistensi mereka tidak saja penting, tetapi juga sangat dibutuhkan guna meraup suara.
Politik elektoral akan meng-kapitalisasi suara rakyat di desa untuk mendulang angka dalam perhitungan suara.
Para “pengepul” suara dalam Pemilu menjadikan desa sebagai basis suara yang kuat dan menjanjikan, meskipun hanya dengan janji dan harapan kosong.
Tetapi perlu dipahami, bahwa ada konsekuensi yang harus ditanggung bila kekuatan di desa dikendalikan secara struktural.
Kohesi sosial bisa retak, kesatuan bisa tercemar dan solidaritas masyarakat bisa terancam dalam lipatan konflik.
Benihnya tumbuh bersama kepentingan, relasi kuasa, dan ambisi politik struktural.
Ada dua jenis kendali kuasa di desa, yakni “kendali kuasa kultural’ dan “kendali kuasa struktural”.
Pada kendali kuasa kultural, mereka hanya bermodalkan petuah dan perilaku.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/Fajlurahman-Jurdi-Dosen-Fakultas-Hukum-Universitas-Hasanuddin-5.jpg)