Opini
Aparat Desa 'Dipaksa' Berpolitik?
Juga batas kekuasaan yang mereka bisa jangkau serta pada situasi kapan mereka bisa terlibat dalam politik.
Begitu juga dengan ketentuan di pasal 51 huruf (g), dimana “perangkat desa dilarang menjadi pengurus partai politik” dan huruf (j) “perangkat desa dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah”.
Penegasan serupa juga terdapat dalam dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada beserta perubahannya.
Pasal 70 ayat (1) huruf (c) menegaskan bahwa; “Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan”; dan di Pasal 71 ayat (1) disebutkan bahwa: .....”dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon”.
Sejumlah regulasi lain, terutama peraturan teknisdi Bawaslu dan KPU juga mengatur hal serupa.
Pertanyaanya, apakah para “penyembah” kekuasaan akan menjadikan para kepala desa, perangkat desa dan Anggota BPD sebagai peserta “upacara” dalam penyembahan mereka?”.
Dalam hal ini, mereka “dipaksa” ikut berpolitik praktis sementara UU melarangnya.
Jika terjadi mobilisasi aparat desa untuk berpolitik praktis, maka ini merupakan sikap tuna hukum dan tuna kuasa yang nyata.
Sebab itu, kepada para pengepul suara, jangan terus mendendangkan kejahatan Pemilu dengan melanggar UU.(*)
