Catatan di Kaki Langit
Dinasti dan Demokrasi, Apa Salahnya?
Juga jangan melakukan idealisasi kepada model "Madinah Nabi saw", Khulafa Rasyidun, sistem Khilafah Islamiyah.
Anak-anak itu lahir dan tumbuh di lingkungan Anda dan profesi Anda.
Salahkah kalau Megawati yang hidup di lingkungan keluarga Presiden Soekarno, juga Mbak Tutut di lingkungan Presiden Soeharto, juga Yeny Wahid di lingkungan Presiden Abdurrahman Wahid.
Puan Maharani di lingkungan Presiden Megawati, juga Agus Harimurti Yudoyono di lingkungan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, juga Gibran Rakabuming, dan lainnya kelak, memiliki "instink" untuk menjadi presiden?
Putusan MK yang kontroversial sudah membuka tembok beton yang membentengi peluang bagi kaum milenial untuk duduk di kursi nomor 2 dan 1 di puncak kepemimpinan nasional.
Setidaknya dikenal lima dinasti yang pernah berkuasa. Di India ada dinasti Nehru-Gandhi.
Di Pakistan ada dinasti Bhutto. Di Korea Utara ada dinasti Tiga Kim.
Di Amerika Serikat ada dua, dinasti Kennedy dan dinasti Bush.
Dinasti adalah bisa dipahami, tidak perlu berhitam putih menerima atau menolaknya. Sebab inti pemerintahan adalah penegakan keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Siapapun yang mampu mewujudkan inti itu, silakan saja. Boleh dia seorang presiden, perdana menteri, atau raja atau ratu.
Kita punya pesan budaya: "Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah".
Memang, berdasarkan pengalaman, sistem monarki (kerajaan) karena absolut, lebih sulit dikoreksi ketimbang sistem demokrasi di mana kuasa rakyat terjaga.
Tapi, demokrasi ala Barat 100 persen juga terbukti kebablasan, karena tidak didudukkan di atas pangkuan tradisi dan budaya Indonesia.
Tradisi dan budaya luhur yang kita miliki itulah yang akan mengantar kita kepada kemajuan dan peradaban yang tinggi, apa pun ideologi/isme/agama yang kita anut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.