Catatan di Kaki Langit
Dinasti dan Demokrasi, Apa Salahnya?
Juga jangan melakukan idealisasi kepada model "Madinah Nabi saw", Khulafa Rasyidun, sistem Khilafah Islamiyah.
Oleh: M Qasim Mathar
Pendiri Pesantren Matahari di Mangempang Maros
Jangan 100 persen ala Amerika Serikat dalam berdemokrasi dan berdinasti.
Juga jangan melakukan idealisasi kepada model "Madinah Nabi saw", Khulafa Rasyidun, sistem Khilafah Islamiyah.
Alasan saya: pertama, semua ideologi/isme/agama yang melatarbelakangi pelaksanaan model dan sistem pemerintahan.
Maka ideologi/isme/agama tersebut harus didudukkan di atas pangkuan tradisi dan budaya luhur rakyat/bangsa yang mendukungnya.
Kedua, model dan sistem, bahkan ideologi/isme/agama yang menjadi basicnya, harus siap untuk diberi penafsiran baru sebagai akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi dan zaman.
Ketiga, jika kedua poin di atas tidak dipertimbangkan, misalnya, ingin mewujudkan model "Madinah Nabi saw."
Atau ala Amerika Serikat, maka rakyat/bangsa itu akan terus terombang ambing tidak bisa membangun kemajuan dan peradabannya.
Model "Madinah Nabi saw." sudah banyak yang sulit dilaksanakan karena jarak waktu perbedaan zaman sudah sangat jauh.
Begitu juga ala Amerika Serikat mustahil dipakai sepenuhnya di bangsa kita, karena ada perbedaan tradisi dan budaya di antara kita dan Amerika Serikat, juga Barat.
Soal dinasti, dinasti "Kennedy", dinasti "Bush" diterima di Amerika Serikat, tanpa kritik, karena hal itu sesuai dengan ala tradisi dan budaya mereka.
Apa yang salah di model dinasti? Jika Anda politisi tulen dan menjadi pemimpin politik, salahkah jika anak anda kelak lebih hebat dari Anda sebagai pemimpin politik.
Jika Anda seorang dosen, anak Anda kelak menjadi dosen pula, salahkah.
Jika anda seorang dokter, anak Anda juga menjadi dokter, salahkah.
Anak-anak itu lahir dan tumbuh di lingkungan Anda dan profesi Anda.
Salahkah kalau Megawati yang hidup di lingkungan keluarga Presiden Soekarno, juga Mbak Tutut di lingkungan Presiden Soeharto, juga Yeny Wahid di lingkungan Presiden Abdurrahman Wahid.
Puan Maharani di lingkungan Presiden Megawati, juga Agus Harimurti Yudoyono di lingkungan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, juga Gibran Rakabuming, dan lainnya kelak, memiliki "instink" untuk menjadi presiden?
Putusan MK yang kontroversial sudah membuka tembok beton yang membentengi peluang bagi kaum milenial untuk duduk di kursi nomor 2 dan 1 di puncak kepemimpinan nasional.
Setidaknya dikenal lima dinasti yang pernah berkuasa. Di India ada dinasti Nehru-Gandhi.
Di Pakistan ada dinasti Bhutto. Di Korea Utara ada dinasti Tiga Kim.
Di Amerika Serikat ada dua, dinasti Kennedy dan dinasti Bush.
Dinasti adalah bisa dipahami, tidak perlu berhitam putih menerima atau menolaknya. Sebab inti pemerintahan adalah penegakan keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Siapapun yang mampu mewujudkan inti itu, silakan saja. Boleh dia seorang presiden, perdana menteri, atau raja atau ratu.
Kita punya pesan budaya: "Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah".
Memang, berdasarkan pengalaman, sistem monarki (kerajaan) karena absolut, lebih sulit dikoreksi ketimbang sistem demokrasi di mana kuasa rakyat terjaga.
Tapi, demokrasi ala Barat 100 persen juga terbukti kebablasan, karena tidak didudukkan di atas pangkuan tradisi dan budaya Indonesia.
Tradisi dan budaya luhur yang kita miliki itulah yang akan mengantar kita kepada kemajuan dan peradaban yang tinggi, apa pun ideologi/isme/agama yang kita anut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.